Kamis, 21 Maret 2013

cerpen: Leman, Tante, dan Dua Sepupuku


 Leman, Tante, dan Dua Sepupuku

“sssttt…. Jangan bilang siapa-siapa yah… please.”
”waduh gimana yah tante? Saya juga bingung nih.”
”udah, pokoknya ini rahasia kita.”
”emang segitunya banget yah Tant?”
”apanya”
”Tante suka banget sama dia?”
”sstt... jangan keras-keras, nanti si Om dengar, bisa berabe kita.”
”jadi iya apa iya nih?”
“iya.”
“ih… tante.”
“pokoknya rahasia kita yah.”
“suka banget yah Tant?”
“banget banget banget.”
“wah… suka apanya Tant?”
”dia itu yah manis, lucu, cakep, imut lagi... ih tante jadi gemes sendiri deh.”
”wah si Om kalah saing nih.”
”kamu jangan bilang-bilang om yah Nti. Nanti uang jajannya Tante tambahin, sip?”
”wah kalau begitu sih bisa di atur Tante.”
”oke deh. Ya udah yah Nti, Tante mau pergi nih.”
”sama Leman Tant?”
”sama Ommu lah, sama dia sih belum Nti, ’kan masih dalam tahap Pe De Ka Te, hehehe. ”
”oh... ya udah... dah Tante.”
“dah Ranti”
Aku jadi senyum-senyum sendiri tak habis pikir dengan tingkah polah adik mamaku yang satu itu. Padahal dia sudah bersuami. Tapi masih berani main api dengan karyawan suaminya sendiri. Memang belum bisa dikatakan resmi pacaran mereka itu, sebab Leman, begitu ia biasa dipanggil, mengacuhkan semua serangan yang diberikan tanteku untuk mendapatkan hatinya. Bahkan Leman terkesan menjauh dari tanteku. Mungkin ia merasa segan dan tidak enak hati diperlakukan seperti itu oleh tanteku. Sebab selain tanteku adalah seorang ibu-ibu beranak dua berumur 40 tahun yang jelas jauh lebih tua darinya, tanteku juga merupakan istri bosnya sendiri dan ia tidak mau mengambil resiko dipecat dengan tuduhan main serong dengan istri bos. ”Apa kata dunia” pikirnya. Namun tanteku tentu saja tak mau menyerah, bukan Tante Nani namanya kalau mudah patah arang. Pernah sekali dia secara nekat menyatakan perasaannya secara terang-terangan kepada Leman tersayang namun yang terjadi sungguh di luar dugaannya.
Tante Nani mengendap-endap menaiki tangga menuju lantai dua rumahnya yang telah dialih fungsikan menjadi ruangan kerja bagi karyawan suaminya yang bekerja sebagai kontraktor. Lantai yang terbuat dari ubin tentu tak menimbulkan suara yang keras dan ini akan sangat mendukung rencananya. Perlahan-lahan Tante Nani yang mengenakan gaun seksi berwarna merah pas body merayapi tangga. Pakaiannya yang sempit itu ternyata tak mengganggu pergerakannya yang perlahan namun licah. Langkah Kakinya nyaris tak terdengar. Dengan bermodalkan senampan teh hangat dan sepiring biskuit buatannya sendiri ia berencana menghampiri sang pujaan hati yang sedang serius menekuri pekerjaanya yang dikejar deadline di lantai dua.
Tok.. tok.. tok.. ia mengetuk dinding ruangan dengan gaya super genit untuk menarik perhatian pujaannya yang saat itu memang sedang sendirian. Waktu itu hari telah malam. Sang surya sudah kembali keperaduannya beberapa jam yang lalu. Dan cuaca sedang sejuk-sejuknya karena langit bulan ”-ber” saat itu tak henti-hentinya menumpahkan air seperti sedang mengalami kebocoran pipa ledeng. Namun situasi itu tak menghalangi niat Tante Nani, ”justru menambah suasana romantis” ujarnya ketika bercerita kepadaku. Suami yang sudah tak terlalu dicintainya saat itu sedang tidak di rumah. Ia sedang berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Dan tante Nani menganggap memang dewi cinta sedang di pihaknya sekarang ini. Apakah benar? Mari kita lanjutkan.
Mendengar ketokan pintu sang Leman terkejut lantas memalingkan wajah dari layar komputer ke arah sumber suara. Ia kaget mendapati istri bosnya telah berdiri manis di ujung ruangan membawa nampan dan tersenyum super manis yang dibuat-buat kepadanya. Ia gelagapan tak tau harus berbuat apa. Mengusir Tante genit ini tentu tak sopan, menyuruhnya masuk dan menyilakannya duduk di sini berarti aku memerangkap diriku sendiri ke dalam kandang macan betina yang sedang jinak-jinak merpati ini. Leman sedang dalam pergulatan hati yang maha dahsyat. Namun ia bisa apa? Akhirnya...
”Eh Tante... masuk Tant,” ucap Leman malang yang sedang dalam dilema ini dengan ekspresi sedatar mungkin dan berharap tante itu mengerti maksudnya bahwa ia tak ingin diganggu. Terutama oleh Tante Nani. Namun rupanya Tante Nani yang saat itu sedang diiringi oleh Dewi Amor sedang buram matanya. Ekspresi Leman yang serata landasan pacu pesawat itu ternyata oleh mata Tante Nani bertransformasi menjadi ekspresi sangat ramah seperti seorang pria yang senang didatangi oleh kekasihnya. Cinta itu memang membuat gila.
Tante Nani memasuki kantor kecil itu berlenggak-lenggok serasa peragawati sedang berjalan di atas cat walk. Bibirnya yang semerah cabe rawit merekah menebar senyum manis. Ia menghampiri Leman yang berdebar-debar disco di meja kerjanya.
“Leman,” sapanya.
“Nih minum dulu, tante bawa cemilan lho buat kamu. Masih hot lagi, persis kayak tante.”
”Hah? Oh, iya tante makasih,” Leman mulai gelisah duduknya
”tante boleh duduk yah Le?”
”Le?? Le siapa tante?”
”iya Le, panggilan sayang Tante buat kamu Leman” jawab Si Tante mesem-mesem.
Pakaian Tante Nani membuat Leman merasa jengah. Ia kembali dalam dilema antara menjaga kesopanan atau menjaga diri. Tante Nani yang masih dalam pengaruh dewi cinta yang kuyakini sebagai dewi cinta palsu kembali salah penglihatannya. Leman yang gelisah itu terlihat seperti sedang ingin duduk mepet-mepet dengan dirinya. Oh Tuhan, aku hanya bisa ternganga membayangkannya. Kemudian,
”ada yang mau tante omongin sama kamu Le,” Tante Nani mulai menjalankan aksinya
”ngomong aja Tant, aku dengerin kok.”
”ehm... gimana ya Le? Tante malu nih tapinya.”
”gak pa pa Tan, ngomong aja,” Leman tak sabar ingin segera keluar. Agak menyesal juga menolak tawaran Irwan untuk keluar malam itu. Karena sejatinya saat itu sudah lewat jam kerja. Sebelumnya kukabari dulu kepada kalian, Irwan adalah pacar anaknya Tante Nani yang ternyata juga diam-diam menyimpan rasa kepada Leman. Sebenarnya selain Kina, anak Tante Nani, ada seorang kaum hawa lagi yang saat ini menjadikan Leman sebagai sasaran labuhan hatinya. Ialah Kak Monik. Sepupuku anak Kakak mamaku yang telah memiliki seorang suami dan seorang orang anak yang masih kecil. Penasaran? Nanti ku ceritakan. Sekarang kita bahas dulu tentang Tante Nani.
”tapi Tante malu.”
”ya udah, kalau malu jangan ngomong Tant”
”ih kamu kok gitu sih? Tante ngambek nih,” rengek Tante Nani yang membayangkannya saja membuatku ingin langsuk lari ke toilet.
”ya udah yah tant, aku mau pergi dulu.”
”lho? Kamu mau ke mana Le?”
”nyusul Irwan Tante, sekalian ngadem.”
”tapi di sini kan dah adem banget Le.”
”gak deh Tante, di sini gerah banget.”
”tapi tantekan kesepian Le, kamu tega yah ninggalin tante yang lemah ini sendirian di rumah yang besar ini, kalau ada maling, gimana? Kalau ada nyamuk? Tikus? Kecoa? Semut? Kalau ada yang mau perkosa tante gimana? Tantekan hanya wanita lemah yang tak berdaya Le, kamu tega Le? Leman jahat”
Leman yang memang lembek hatinya itu akhirnya menyerah dengan rayuan dangdut Tante Nani.
”ya udah deh tante,” sahut Leman pasrah.
”nah gitu dong, sekarang tante mau ngomong nih”
”lah katanya malu?”
”itukan tadi, sekarang dah nggak lagi”
”terserah tante aja deh”
”jadi gini Le”
”gimana tant?”
”Jadi gini”
”gimana”
”gini”
”gimana?”
”kamu jangan motong omongan tante dulu dong, jadi nerves ni”
”terserah tante deh”
”kita pacaran yuk Le?” tembak Tante Nani membuat Le terkejut setengah mati. Dunianya seakan buram, dosa apa sampai aku di taksir seorang tante-tante baranak dua istri bosku sendiri?
”What?”
”yuk Le, dah lama lo tante ngincer kamu,” lanjut Tante Nani lagi kali ini sambil mengedipi matanya yang bertahtakan bulu mata palsu banyak tingkat itu.
Le yang malang tak dapat berkata-kata lagi. Ia bangkit menyambar tas lalu beranjak meninggalkan ruang kerjanya dan komputernya yang masih menyala.
”maaf tante, saya nyusul Irwan dulu, katanya dia ketabrak beca,” dusta Le malang sembarang. Tanpa ba bi bu lagi dia meninggalkan Tante Nani yang senyam- senyum sendiri. Lagi-lagi matanya menipu kewarasannya. Leman yang lari dengan muka panik itu terlihat seperti kesenangan mendengar pengakuannya. Ia tak mengejarnya karena menurutnya Leman sayang pasti kembali lagi. Tapi dia salah. Sesampainya di mobil Leman meraih handphonenya kemudian memencet serangkaian nomor.
”bos, saya mengundurkan diri. Besok saya serahkan semua kerjaan saya.” Si Bos yang sedang di rumah selirnya di kota nun jauh di sana hanya bisa terbengong-bengong. Lantas menciumi selirnya.
”oke,” jawabnya singkat.
Begitulah saudara-saudara, ternyata Leman mengundurkan diri dari pekerjaannya sekarang demi menyelamatkan diri dari kasih sayang Tante Nani yang ”horor”. Sungguh dramatis, tragis, erotis. Lho?????????????
Seperti yang sudah saya ceritakan di awal-awal cerita ini saudara-saudara. Cassanova kita ini ditaksir oleh tiga dara sekaligus. Tentu saudara-saudara bertanya-tanya siapa sebenarnya merak jantan kita kali ini. Seperti apa rupanya sehingga ia digilai oleh lebih dari satu wanita sekaligus! Tenang, saya tidak akan membuat saudara-saudara penasaran lebih dari ini. Tentu kita sering mendengar bahwa cantik, tampan, kaya, miskin dan kata sifat lainnya itu bersifat relatif. Dan kita juga tentu pernah mendengar bahwa cinta membuat orang buta. Jika cinta sudah pegang kendali, maka orang dengan tampang badak cula satu pun terlihat tampan dalam pandangan. Dan itu semua dipengaruhi oleh satu faktor, KEBERUNTUNGAN.
Cassanova kita ini sungguh serba cukup kondisinya. Cukup hitam, cukup kurang tinggi, cukup kurus, serta cukup-cukup yang lain. Mengenai tampan atau tidak, tentu saya tidak berani berkata apa-apa, karena tampan adalah masalah relativitas. Namun ada satu alasan yang saya yakini merupakan alasan utama para perempuan dalam keluargaku ingin menjadikannya pacar dan selingkuhan. Pria berambut ikal dan berusia sekitar 27-an ini memiliki mata yang berwarna cokelat bening. Tanteku bilang mata ini sangat teduh dan mendatangkan perasaan tenang kepada setiap orang yang menatapnya. Kak Monik dan Kina pun ternyata terpukau dengan mata cokelat ini yang belakangan baru aku tahu warna cokelat bening itu merupakan warna softlens yang digunakan Leman. Aku pernah melihatnya melepas benda lembut itu ketika dia hendak mandi suatu hari. Sayangnya ketika hal itu kuceritakan kepada tante, Kakak dan sepupuku, mereka malah mengecapku pembohong. Ah, dewi cinta, mengapa kau tipu mereka.
***
Rrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr... Nokia 6600 Leman berkokok membangunkannya subuh ini. Sebuah pesan sudah masuk dan merengek minta dibaca. Dengan malas akibat kejadian semalam Leman bangkit dari tidurnya berusaha sekuat tenaga mengumpulkan nyawa kemudian meraih Nokia kecilnya. Ternyata sebuah sms dari Monik. Saudara-saudara sekalian masih ingat Kak Monik kan? Dia adalah Kakak sepupuku anak dari Kakak mamaku. Dia sudah memiliki seorang suami yang sekarang sedang tugas di luar kota dan seorang putri cantik berumur sekitar 5 tahun. Kak Monik memiliki kebiasaan buruk. Ia gemar bermain api dengan menjalin hubungan dengan banyak lelaki meskipun ia sudah terikat dalam hubungan perKinahan. Dan kali ini sasarannya adalah Leman malang. Sedikit informasi tentang Kak Monik, ia berumur sekitar 25 tahun berambut pendek, berkulit sawo matang dan bersifat manja. Secara keseluruhan Kak Monik memang terlihat mungil dengan tingginya yang hanya sekitar 155 cm. Bagi yang tidak mengenal Kak Monik tentu tidak akan mengira jika Kak Monik adalah seorang ibu beranak satu. Ironisnya lagi, Leman sesungguhnya sudah mengetahui kondisi Kak Monik, namun rupanya kali ini dewi cinta merusak logikanya sehingga ia terbujuk rayuan gombal Kak Monik.
AKU KANGEN
Begitulah isi sms yang mengganggu tidur Leman subuh ini. Sms yang hanya berisi dua kata dari Kak Monik itu ternyata membuat kantuknya hilang. Rencananya untuk tidur kembali guna menetralisir mimpi buruknya semalam bersama Tante Nani diurungkannya. Lalu ia menelepon Kak Monik.
”halo,” sapa Leman.
”hai sayang,” sahut Kak Monik manja di ujung sana.
”kenapa say?”
”aku kangen kamu, dah lama nih kita gak ketemu,”
”oh gitu, yuk ketemuan,” ajak Leman.
”emangnya kamu lagi gak sibuk?”
”gak kok say, kebetulan aku lagi pengen refresing nih,”
”oke,” jawab Kak Monik cepat. Jelas tergambar ia sangat senang pagi itu.
”ya udah, besok kita ketemu di tempat biasa yah say.”
”okeh, dah sayang.”
”dah.”
Dan adegan janjian pun berakhir dengan Kak Monik yang tersenyum senang dan Leman yang bimbang. Malang benar nasibmu Leman.
Sebuah mall di ibukota merupakan tempat janjian Kak Monik dengan Leman. Ternyata hari ini mereka berencana belanja dan berjalan-jalan di mall itu. Kak Monik sungguh bahagia hatinya. Hal itu tergambar jelas dari pakaiannya yang berwarna cerah dengan motif bunga-bunga. Memang belanja adalah hobi Kak Monik, apalagi ia tahu bahwa hari ini ia akan berbelanja sepuas hati dengan cuma-cuma. Karena berdasarkan kebiasaan yang entah sejak kapan dimulai, jika ia berbelanja dengan Leman maka Lemanlah yang berkewajiban membayarkan semua belanjaannya. Kak Monik dan Leman berjalan berdampingan dengan Kak Monik menggelayut manja di sisinya. Bagi yang tidak mengenal mereka pasti akan mengira mereka adalah pasangan pengantin baru yang sedang berberbelanja kebutuhan rumah tangga. Di supermaket di mall itu Kak Monik memang membeli kebutuhan rumah tangga. Buat stok bulanan katanya. Mulai dari gula, minyak sayur, mie instan hingga kosmetik. Ada juag ia membelikan barang untuk Leman. Selembar pakaian dalam merek crocodille. Ya hanya selembar pakaian dalam. Seperti wanita-wanita materialistis lainnya, memang sudah prinsipnya untuk mendapatkan barang sebanyak-banyaknya dengan gratis namun tetap tidak boleh terlihat begitu jelas sedang memeloroti pasangannya maka ia membelikan sesuatu meskipun hanya sebuah untuk pasangannya itu. Trik yang sangat klasik. Selesai dengan belanja keperluan rumah tangga, Kak Monik dan Leman menuju food court untuk mengisi perut. Mereka mengambil tempat duduk di pojokan agar tidak ketahuan kalau-kalau ada anggota keluarga besarku kebetulan makan di situ juga. Tentu saja! Semua orang yang berselingkuh tentu akan berlaku seperti itu. Sebelum duduk Kak Monik melihat ke kiri dan ke kanan persis seperti seorang anak kecil yang ingin menyeberang jalan. Setelah dirasa aman barulah ia duduk. Hari ini Leman hanya bisa diam.
Di tempat lain di belahan kota metropolitan yang lain. Seorang gadis 18 tahun tengah risau hatinya sebab orang yang dikaguminya selama ini tak kunjung datang. Biasanya di hari sesiang ini pangeran pujaannya itu sudah tiba dirumahnya yang sekalian yang menjadi kantor itu. Biasanya sang pangeran sudah bersenda gurau bersamanya di teras sambil menikmati roti isi sayur sebagai pengisi perut di pagi hari. Namun hari ini tentu tidak seperti biasanya. Leman tentu sudah tak akan lagi datang ke rumah itu karena ia telah mengundurkan diri dari kantor yang menekan perasaannya sebagai lelaki terhormat. Dan sang gadis 18 tahun itu tentu tak tahu. Karena tak seorang pun memberinya tahu. Ah, bukankah memang tak ada yang tahu perihal itu, kecuali Leman, si bos dan Tuhan. Untuk menanyakannya kepada sang mama tentu ia merasa malu. Sebab selama ini mamanya itu tak pernah tahu bahwa ia sedikit dekat dengan Leman, ia tak ingin mamanya merasa heran dan bertanya-tanya mengapa siang ini ia menanyakan kehadiran Leman. Ia tak mau. Maka yang terjadi adalah gadis itu menjadi serba salah. Pekerjaanya pagi itu hanya bolak balik berkali-kali antara ke teras, kantor kecil di lantai dua dan ke kamarnya. Begitu terus berjam-jam berulang-ulang. Aku yakin sekali bahwa ia sudah terhipnotis oleh sesosok makhluk mitos yang bernama Dewi Amor yang memiliki prajurit sebangsa anak kecil bersayap yang selalu membawa panah ke mana-mana. Cupid, begitu nama bekennya. Mereka itulah yang beranggung jawab atas semua kejadian irasional yang menimpa keempat tokoh kita kali ini.
Kembali lagi ke gadis 18 tahun yang sedang uring-urungan di singasana orange kecilnya di kamar. Hatinya sedang dalam pertarungan batin antara ingin menelepon sang pujaan atau tidak. ’malaikat penjaga’nya bertengkar dalam pikirannya. Yang bertanduk merah mengatakan telepon saja dia agar majikannya itu tidak gelisah, sedangkan yang memiliki cincin putih di kepalanya mengatakan agar menahan keinginannya untuk menghubungi sang pujaan. ’penjaga’ putihnya bilang bahwa ia tak harus mengorbankan gengsinya hanya demi seseorang yang bukan siapa-siapanya. Bukan siapa-siapa? Hatinya membantah. Dia itu pujaanmu dan kamu bilang dia bukan siapa-siapa? Ah sungguh malang nasib putri 18 tahun itu. Ia terperangkap dalam pergolakan batinnya sendiri. Dia yang kau bilang buikan siapa-siapa itu adalah Noe mu. Pujaanmu. Noe mu yang gagah perkasa, yang selalu kau mimpikan. Yang kau harapkan datang menjemputmu dengan kuda putihnya yang tak kalah perkasa dengan pemiliknya. Ah.... whatever...!!! Simpulnya.
Gadis 18 tahun itu bernama Kina. Gadis yang sedang dalam tahap beranjak dewasa itu meraih handphone kecilnya kemudian menelepon seseorang yang selalu menjadi tempatnya mencurahkan isi hati. Tempatnya selalu mencurahkan keluh kesah. Kak Monik.
”halo.”
”hai Kin, kenapa?”
”Kak Monik di mana nih?”
”ehm, lagi di rumah sayang, kenapa?” ujar Monik membual.
”Leman kok gak datang-datang yah Kak? Biasanya jam segini dah datang,” ujar Kina memulai curhatnya.
”wah, Kakak gak tau juga sayang, dia kan gak pernah ngubungin Kakak, hehehe.” dusta Monik sambil nyengir-nyengir kuda.
”Kakak lagi sibuk gak? Temenin aku jalan-jalan yuk.” ajak Kina.
”waduh, Kakak lagi sibuk banget nih. Ehm, Kakak lagi beberes kamar. Berantakan banget.” lagi-lagi Monik berdusta.
”gitu ya? Ya udah deh, aku ajak mama aja, dah Kak Monik, met kemas-kemas yah,”
”dah Kina.”
Kak Monik melempar senyum ke arah Leman yang jelas-jelas tidak memandangnya. ”Kina” ujarnya singkat kemudian melajutkan acara makan-makan siang itu.
Kina berlari mencari ibunya yang sedang duduk santai di depan meja rias di kamarnya. Ia sedang berdandan karena memang ingin pergi ke suatu tempat. Melihat ibunya yang sudah berbedak tebal itu kemudian Kina bertanya,
”mau ke mana Ma?”
”mau shopping, ikut?”
”wah, ikut dong Ma.”
”siap-siap gih sana.”
”gini aja deh Ma.”
”okeh. ”
Begitulah cerita orang kaya yang tak punya kesibukan dan menjunjung tinggi sifat konsumtif. Segala sesuatu diselesaikan dengan belanja. Sedih belanja. Senang belanja. Seolah rupiah-rupiah yang dikeluarkannya adalah perasaan yang ingin mereka ungkapkan. Semakin tinggi tingkat emosionalnya, semakin banyak pula rupiah yang akan mereka keluarkan. Jika Andrea Hirata mengetahui hal ini mungkin ia akan memasukkan penyakit ini ke dalam daftar penyakit gila miliknya.
Kina dan ibunya yang semlohai menaiki angkutan umum berwarna biru yang bertuliskan taxi di atasnya. Mereka menuju sebuah mall. Yah mall, pasar modern yang menjadi gaya hidup masyarakat ’kota’ dan kebanggan masyarakat ’desa’ yang ingin menjadi bagian masyarakat ’kota’. Sebelum memulai acara berbelanja siang ini, Kina da ibunya hendak mengisi perut mereka terlebih dulu. Maka mereka pun beranjak menuju food court yang terletak di lantai 3 mall besar itu. Ketika handak memasuki area yang dipenuhi orang lapar itu secara tidak sengaja Kina dan ibunya bertabrakan dengan anak beranak yang terlihat terburu-buru menuju ke sebuah meja di sudut food court. Karena tak ingin memperpanjang masalah akhirnya mereka membiarkan saja anak beranak itu berlalu. Setelah memsan makanan kemudia mereka mengambil tempat duduk yang berada agak di tengah ruangan. Membelakangi smoking area tempat Kak Monik dan Leman bercengkerama.
Sedang asyik-asyiknya merencanakan akan berbelanja apa siang ini, tiba-tiba Kina dan Ibunya mendengar keributan dari sudut konter makan mega itu. Karena penasaran mereka pun memanjangkan leher demi mengetahui siapa biang ributnya. Ternyata yang menjadi biang ribut adalh anak beranak yang tadi menabrak mereka. Sang ibu sedang memaki-maki seseorang di depannya dan sang anak menjerit-jerit histeris seolah tak ingin kalah suaranya oleh ibunya. Sang ibu yang sedang hamil besar itu telihat menuding-nuding sepasang kekasih yang sedang santap siang dengan mesra. Dari sela-sela kerumunan kecil itu Kina melihat seseorang yang ia kenal sedang di tunjuk-tunjuk oleh seorang wanita hamil.
”Ma, itu Kak Monik kan?” tanya Kina tak yakin.
”yang mana Kin?”
”yang itu lho Ma, yang duduk di sudut situ.” ujar Kina kali ini dengan suara lebih mantap, ”yuk kita samperin Ma.”
Tanpa menunggu persetujuan dari ibunya Kina beranjak dari tempat duduk dan berjalan cepat menuju kerumunan kecil sumber keributan di sudut ruangan. Rasa penasarannya sudah sampai ke ubun-ubun. Pertanyaan-pertanyaannya harus segera terjawab. ”apa benar itu Kak Monik?”, ”dengan siapa?”. Kina menyeruak kerumunan itu. Sejurus dia terdiam, ia terkejut dengan pemandangan yang tersaji di depannya. Suara riuh ibu hamil itu mengomel menjadi sayu di telinganya.
”oh, hadi begini pekerjaanmu? Kau bilang kau bekerja di depan komputer mengerjakan data-data A B C D, kau bilang kau ingin mencari uang untuk kelahiran anak keduamu yang ada di perutku ini? Kau bilang kau setia? Tapi apa hah? Kau malah main serong dengan perempuan kota ini. Tidakkah kau ingat dengan istrimu yang sedang buncit mengandung anakmu ini? Pantas kau tidak mengirimiku uang 2 bylan terkahir ini ternyaa begini perkerjaanmu Leman? Tidak kau ingat anak istrimu di desa?...” bla... bla.. bla.. sampai segitu Kina yang sudah lulus sekolah tingkat atas dapat mengerti dengan jelas situasi sekarang. Simpulan yang dapat di tariknya adalah saat itu Kak Monik, orang yang selama ini menjadi tempat ia mencurahkan keluh kesah telah mengkhianatinya dengan berkasih dengan Leman orang yang selama ini menjadi penghias mimpinya. Dan Leman, orang yang selama ini ia anggap sebagai pangeran bermata meneduhkan ternyata tak lebih dari seorang hidung belang yang tega meninggalkan anak dan istrinya yang sedang hamil besar hanya demi seorang Kak Monik, ibu beranak satu yang bahkan sudah memiliki suami. Ia merasa dunianya runtuh saat itu juga. Menyesal juga dia menduakan perasaannya terhadap Irwan. Tanpa sempat mengajukan segala pertanyaan yang tadi membuncah di benaknya, Kina berlari meninggalkan kerumunan kecil itu, meninggalkan ibunya yang hanya bisa menarik nafas, meninggalkan Kak Monik yang kikuk karena tertangkap basah sedang bermain serong, meninggalkan makanan yang belum sempat dicicipinya. Kasihan Kina, hatinya hancur, perutnya lapar pula.
Sepeninggal Kina, Leman diseret istrinya untuk pulang. Maka Leman yang badannya ternyata lebih kecil dari istrinya itu hanya bisa pasrah seperti kerbau dicucuk hidung. Ia ingin memberontak demi mempertahankan harga dirinya. Namun hainya melarang, sebab jika ia berontak, ia takut sesuatu yang tak diharapkan terjadi kepada istrinya yang sesungguhnya cukup ia sayangi itu. Sekarang tinggallah Kak Monik, Tante Nani dan belanjaan Kak Monik yang untungnya sudah dibayar lunas oleh Leman. Alih-alih bertengkar sebab orang yang sama-sama mereka sukai ternyata telah menigakan mereka. Kedua ibu genit itu malah asyik bercengkerama membicarakan harga-harga pangan. Tidak lupa Tante Nani menanyakan tentang sejauh mana hubungan antara Kak Monik dan Leman.
”dah berapa lama Nik kamu jalan sama Leman?” tanya Tante Nani memulai interogasinya.
”dah lama Tant, dah dari Januari kalo gak salah.”
”wah, dah ngapain aja tu?” tanya tante Nani sambil mengedipkan mata.
”ada deh, Si Tante mau tau aja,” jawab Kak Monik sambil menumpukan paha kanannya ke atas pahanya yang satunya lagi.
”terus abis ini gimana? Dia pulang kampung tuh.”
“biarin aja Tant, uangnya juga dah ku abisin, lagian stok ku masih banyak”, sahut Kak Monik santai seperti di pantai dan si sambut tawa oleh tante Nani.
“udah ah, kamu temenin tante belanja aja yuk, Kina dah gak tau ke mana, nemuin Irwan mungkin.” ajak Tante Nani teringat bahwa tujuannya datang ke gedung ini adalah untuk memenuhi hasrat borosnya.
“yuk.”
Dan kedua ibu itupun meninggalkan meja makan siap menyetorkan uang-iang mereka ke toko-toko baju yang ada di gedung berkaca banyak itu.
Sementara Kina yang saat itu sudah kembali duduk di dalam taxi sedang di penuhi perasaan menyesal. Ia menyesal kenapa tadi tidak makan terlebih dulu, sebab sekarang perutnya terasa sangat lapar dan bersuara berisik. Mungkin cacning-cacing di perutnya sedang berdemo meminta jatah makan siang. Who knows? Ditengah rasa lapat itu dia dikejutkan oleh nada dering handphone kecilnya. Ada panggilan masuk! Dan dari... LEMAN! Oh my god.
”halo?”
”Kina sayang, besok jalan yuk, tar aku jemput di depan komplek jam 7 malam. Dandan yang cantik yah sayang.”
”hah? Eh? Oh.. oke”
***

(oleh: Efsi kurniasih)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar