Selasa, 19 Maret 2013

Perjalanan Ketegaran Hati Untukmu Yang Terbaik

Perjalanan Ketegaran Hati Untukmu Yang Terbaik
          Hari ini di batas hari, ketegaranku diuji. Perjalanan kali ini tak seperti yang pernah sebelumnya. Di batas kota ini, di bawah papan hijau bertuliskan Sintang 70 km, gadis mungil sembab bersimbah air mata mengiringi pacuan kendaraan kami. Perjalanan kali ini bukan tentang jarak dan waktu yang akan ditempuh tapi lebih tentang perjalanan  melawan sombongnya ketegaran hati.
          Siang itu 13.00 Wib, tak seperti siang sebelumnya, dari pagi matahari bersembunyi, tertutup mendung yang tebal dan lembab. Siang itu hujanpun turun bersamaan dengan tumpahnya air mataku, matanya, mata mereka. Seseorang mengabarkan bahwa 10 orang pekerja tambang emas tertimbun tanah yang longsor dan belum diketemukan. Matahari kian jauh pergi, hujan kian menjadi-jadi saat kami tahu satu dari kesepuluh korban adalah Adrian sahabat terbaikku, kakak dari gadis mungil yang peluh berdiri di bawah papan hijjau bertuliskan Sintang 70 km.
“Bodoh, sudah kubilang jangan pergi, tapi tak kau hiraukan, kasihan adikmu yang kini sebatang kara.” Gumamku.
“Kasihan si Anis, baru aja ditinggal ibunya, kini Adrian satu-satunya yang dia punya juga meninggalkannya.” Kata amir yang berada di kursi depan mobil yang kami tumpangi.
“Bodoh.” Kata itu yang dari tadi keluar dari mulutku, tak ada kata lain yang bisa kuucap mewakili kesedihan hatiku.
               Tambang emas yang kami tuju berada 30 km dari kota Sintang, sedangkan kami berada 70 km dari kota sintang dari arah berlawanan. Tambang emas yang menjadi tumpuan banyak orang untuk menyambung nafas hidupnya. Lumbung uang yang menjanjikan kesejahteraan, tempat yang tak mengenal uang seribuan bahkan nominal dua ribu baru hanya senilai permen karet. Seorang teman pernah berkata padaku “kalau beruntung kerja tambang bisa bikin kita kaya mendadak, lihatlah mobil mewah dan rumah megah itu, hasil tambang menjanjikannya.” Dari situ aku tahu bahwa keberuntungan bukan milik Adrian.
      Dua jam sudah perjalanan kami, baru aku sadari Anas memacu mobil dengan kecepatan yang tak biasa karena baru dua jam kami semakin dekat  daerah yang kami tuju, dari kejauhan terlihat papan hijau bertuliskan Kecamatan Dedai dan itu berarti kami telah sampai di kawasan tambang emas. Satu hal yang juga baru kami sadari tarnyata matahari di sini bersinar cerah panas mengangah. “sepertinya kematian adalah hal yang biasa di tempat ini, langitpun tak turut sedih atas kematian sahabatku.” Gumamku.
      “kita jalan kaki.” Kata Anas yang mendadak menghentikan laju mobilnya. Di depan kami hanya ada jalan selebar dua meter yang tak mungkin delewati mobil. Lokasi tambang berada 500 meter di dalam hutan. Masih tetap berdiam diri kami menyusuri jalan menuju lokasi tambang dan betapa terkejutnya aku saat kulihat tempat yang mereka sebut surga adalah tanah lapang dengan lubang- lubang besar yang dalam. Di tengah lapang kami melihat kerumunan manusia dengan wajah antusias yang sama, kami semakin mendekat ke arah kerumunan dan terhenti saat satu di antara mereka berteriak, “ yang terakhir ketemu.” Aku hanya bisa tetuntuk lemas, air mataku pecah, yang terakhir adalah jasad Adrian sahabat terbaikku.
“Inalillahi wa inalillahirojjiun.” Kalimat yang keluar dari hampir semua orang yang ada, dan aku tetap hanya bisa berucap “bodoh.”
Inilah akhir dari segalanya, akhir perjalanan yang tak pernah seorangpun ingin sampai pada tahap ini. sahabat terbaik tumpuan hidup Anis kini kaku di pangkuanku. Berangkat dengan sejuta harapan, pulang hanya sisa-sisa.
Untukmu sahabat terbaikku, maafkan aku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar