Perjalanan Ketegaran
Hati Untukmu Yang Terbaik
Hari ini di batas hari, ketegaranku diuji.
Perjalanan kali ini tak seperti yang pernah sebelumnya. Di batas kota ini, di
bawah papan hijau bertuliskan Sintang 70 km, gadis mungil sembab bersimbah air mata mengiringi
pacuan kendaraan kami. Perjalanan kali ini bukan tentang jarak dan waktu yang
akan ditempuh tapi lebih tentang perjalanan
melawan sombongnya ketegaran hati.
Siang itu 13.00 Wib, tak seperti
siang sebelumnya, dari pagi matahari bersembunyi, tertutup mendung yang tebal
dan lembab. Siang itu hujanpun turun bersamaan dengan tumpahnya air mataku,
matanya, mata mereka. Seseorang mengabarkan bahwa 10 orang pekerja tambang emas
tertimbun tanah yang longsor dan belum diketemukan. Matahari kian jauh pergi,
hujan kian menjadi-jadi saat kami tahu satu dari kesepuluh korban adalah Adrian
sahabat terbaikku, kakak dari gadis mungil yang peluh berdiri di bawah papan
hijjau bertuliskan Sintang 70 km.
“Bodoh, sudah kubilang jangan pergi, tapi tak kau
hiraukan, kasihan adikmu yang kini sebatang kara.”
Gumamku.
“Kasihan si Anis, baru aja ditinggal ibunya, kini
Adrian satu-satunya yang dia punya juga meninggalkannya.” Kata amir yang berada
di kursi depan mobil yang kami tumpangi.
“Bodoh.” Kata itu yang
dari tadi keluar dari mulutku, tak ada kata lain yang bisa kuucap mewakili
kesedihan hatiku.
Tambang emas yang kami tuju
berada 30 km dari kota Sintang, sedangkan kami berada 70 km dari kota sintang
dari arah berlawanan. Tambang emas yang menjadi tumpuan banyak orang untuk
menyambung nafas hidupnya. Lumbung uang yang menjanjikan kesejahteraan, tempat
yang tak mengenal uang seribuan bahkan nominal dua ribu baru hanya senilai
permen karet. Seorang teman pernah berkata padaku “kalau beruntung kerja tambang bisa bikin kita kaya mendadak, lihatlah
mobil mewah dan rumah megah itu, hasil tambang menjanjikannya.” Dari situ
aku tahu bahwa keberuntungan bukan milik Adrian.
Dua jam sudah perjalanan kami, baru aku
sadari Anas memacu mobil dengan kecepatan yang tak biasa karena baru dua jam
kami semakin dekat daerah yang kami
tuju, dari kejauhan terlihat papan hijau bertuliskan Kecamatan Dedai dan itu
berarti kami telah sampai di kawasan tambang emas. Satu hal yang juga baru kami
sadari tarnyata matahari di sini bersinar cerah panas mengangah. “sepertinya kematian adalah hal yang biasa
di tempat ini, langitpun tak turut sedih atas kematian sahabatku.” Gumamku.
“kita
jalan kaki.” Kata Anas yang mendadak
menghentikan laju mobilnya. Di depan kami hanya ada jalan selebar dua meter
yang tak mungkin delewati mobil. Lokasi tambang berada 500 meter di dalam
hutan. Masih tetap berdiam diri kami menyusuri jalan menuju lokasi tambang dan
betapa terkejutnya aku saat kulihat tempat yang mereka sebut surga adalah tanah
lapang dengan lubang- lubang besar yang dalam. Di tengah lapang kami melihat
kerumunan manusia dengan wajah antusias yang sama, kami semakin mendekat ke
arah kerumunan dan terhenti saat satu di antara mereka berteriak, “ yang terakhir ketemu.” Aku hanya bisa
tetuntuk lemas, air mataku pecah, yang terakhir adalah jasad Adrian sahabat
terbaikku.
“Inalillahi wa inalillahirojjiun.”
Kalimat yang keluar dari hampir semua orang yang ada, dan aku tetap hanya bisa
berucap “bodoh.”
Inilah
akhir dari segalanya, akhir perjalanan yang tak pernah seorangpun ingin sampai
pada tahap ini. sahabat terbaik tumpuan hidup Anis kini kaku di pangkuanku. Berangkat
dengan sejuta harapan, pulang hanya sisa-sisa.
Untukmu
sahabat terbaikku, maafkan aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar