Seberang Pulau Pesona
Episode:
perjalanan abu-abu
Aku
adalah aku, aku mewakili kamu, aku mewakili dia, aku mewakili mereka dan aku
adalah kita. Yang sepakat menamainya Pulau Pesona.
……………………………………………………………………………………………………..
Layar
abu-abu terbuka.Ya, abu-abu, karena kita tak tau dari mana arah kita, yang kita
tau kita akan ke utara, seberang pulau pesona.
Kita
sepakat tentang abu-abu, karena sulit untuk memaksanya dengan warna pelangi,
sekali lagi tentang dari mana arah kita.
Aku
adalah kita. Kita yang abu-abu. Karena yang kita tahu hanya waktu bukan jarak
utara pulau pesona.
Kita
berangkat dengan riuh, bahkan gemuruh, menebar senyum, mengumbar tawa, yang
kita sepakati juga abu-abu. Karena tak sedikit juga air mata yang lelah
hadirkan di antara jarak senyum dan tawa.
Ya
sekali lagi aku adalah kita yang masih memandang sepekan nanti abu-abu.
……………………………………………………………………………………………………..
Pelabuhan
pertama, saat itu mentari masih terlihat sombong dengan terik yang mulai
terasa. Bahu ini masih mampu menopang lelah, sangat mampu dan kita masih dengan
riuh, mengumbar senyum dan tawa saat kita percaya bahwa yang akan membawa kita
bukanlah perahu kertas seperti yang belum lama ini aku dan mungkin kita
sama-sama menyaksikannya.
Sejenak
semua hening, saat raung mesin memekakkan telinga dan sesaat pula kita khusuk
dalam doa-doa. Hela nafas panjang terlihat hampir di antara semua raut kita
saat perlahan daratan terasa menjauh. Sebagian dari kita seperti tak rela
tinggalkan daratan, sebagian dari kita menatap jauh ke depan, dan sebagian dari
kita lebih memilih diam di dalam dengan menciptakan kesibukan. Pelabuhan
semakin terlihat jauh, meski kita masih bisa melihat daratan lainnya. Namun ada
satu mata sendu yang menggangu pandanganku, hanya pandanganku bukan pandangan kita.
Mata sendu yang mengambarkan kerinduan pada daratan yang baru sejanak kita
tinggalkan.
Waktu
itu 14.00. Ya, dengan jelas aku melirik jam tangan di sebalahku, dan sepertinya
panas matahari juga menunjukan waktu yang sama. Aku memilih duduk di tepian bersama
sebagian kita yang masih mampu menopang lelah. Deburan air dan pepohonan seakan
menjadi pengalihan dari rasa takut yang coba kita sembunyikan dan dari
kerinduan akan daratan terakhir.
“laut!!,
ya laut!!, kita berada di laut”. Suara itu mengalihkan pandangan kita pada
seseorang yang sedang mengusap-usap mulutnya yang terasa asin.
Ya,
benar, kita sudah berada di laut. Kita akan melewati laut ini dan sekarang
pandangan kita tak lagi pada pepohonan di tepian, tapi pada laut lepas yang
terhampar luas.
Tiba-tiba
mesin mati!!
Ya
Tuhan. Aku dan kita merasakan degup jantung yang luar biasa. Berharap ini bukan
klimaks dari cerita. Karena sepekan itu belum seharipun kita lewati. Seketika
itu gelombang laut semakin terasa menggoyahkan, seperti ini rasanya terombang-ambing.
Dan di sela degup jantung yang luar biasa, kembali ada yang mengusik
pandanganku. Dia, yang sedari tadi diam, memandang jauh ke titik hitam. Dia
menatap seakan memperhitungkan tenaga yang dia perlukan untuk sampai titik
hitam yang diyakininya adalah daratan. Aku sempat tersenyum lalu kemudian larut
dalam tatapan yang sama dan mulai memperhitungkan tenaga yang aku perlukan.
Seketika,
serentak, hela nafas panjang seakan senada seirama. Raut tenang kembali hadir,
senyum kembali merekah pada bibir kita yang sempat kelu saat dapat nahkoda
pastikan kita lajutkan perjalanan.
Aku
melirik lagi, pada jam tangan di sebelahku. Waktu itu 16.45. dan matahari
sepertinya terlihat mulai leleh dengan kesombongannya. Senja. Kita berhamburan,
mulai bisa mencoba menikmati perjalanan. Saat hembusan angin terasa menepiskan
lelah. Ditambah dengan pesona terbenamnya matahari yang meneduhkan. Ya, ini
adalah peristiwa yang tak akan aku dan kita semua melewatkan, bahkan melupakan.
Ini senja pertama yang mampu hadirkan ketenangan. Senja yang meruntuhkan rasa
takut yang sempat kita sembunyikan. Senja yang aku dan kita sepakati sebagai
senja terindah.
Senja
meredup. Semakin redup. Matahari kembali ke peraduan. Tinggalkan kita untuk
sombong di sisi bumi lainnya. Sekarang gelap menguasai langit. Sekarang gelap
menyelimuti sekitar dan gelap kembali
menghadirkan ketakutan yang sempat kita sembunyikan. Aku tak tahu sekarang
pukul berapa. Tak ada lagi jam tangan di sebelahku, namun sepertinya magrib
memberi kepastian waktu bahwa kita di kisaraan waktu petang. Aku dan kita
sepakat untuk masuk, kembali membaur dengan sesama, di ruangan yang seperti
lorong ini, kita coba untuk hadirkan kesibukkan, masih dengan riuh dan gemuruh,
masih dengan mengumbar senyum dan tawa.
Di
ruangan yang seperti lorong ini, ada sudut paling kusuka. sudut lorong yang
dihiasi dua orang di antara kita semua. Dua orang yang sepertinya sejoli. Dua
orang yang mengusik pandanganku. Dua orang yang hadirkan sisi romantika dari
perjalannan abu-abu kita. Dua orang yang sepakat dan menyertakan aku juga kita
untuk sepakat bahwa ini adalah makan malam paling indah. Indah. Karena hanya
mereka berdua tanpa pedulikan kita yang ada di antaranya.
Dari
kejauhan, kini mataku dan mata kita seakan mendapat arah pandang. Kelap-kelip di
kejauhan seperti memberi sejuta harapan bahwa kita akan menemui daratan.
Kelap-kelip yang mengurat senyum di bibir kita, kelap-kelip lampu pelabuhan.
Ya. Pelabuhan. Semakin dekat semakin jelas, semakin meyakinkan diri kita bahwa
Tuhan masih menyayangi kita. aku dan kita sepakat riuh gemuruh berkemas dan
mengemas. Kita seperti manusia air yang rindu dan sangat merindukan daratan.
Tak hentinya mata kita berpadu dengan rekah senyum yang seakan seirama.
Pelabuhan. Ya. Pelabuhan kedua. Kita sepakat ini adalah pelabuhan terindah.
Bukan karena dekorasinya namun karena harapan yang dihadirkanya. Palabuhan yang
berarti daratan. Pelabuhan yang menjadi titik awal pijakan kita untuk sepekan yang
nantinya aku ingin kita sepakat bahwa itu adalah sepekan terindah.
Perjalanan
abu-abu ini berakhir. Berakhir di daratan terindah. Hela nafas panjang kembali
hadir menghiasi masing-masing raut kita. Doa-doa manis tergurat indah tak
hentinya bersyukur pada rasa sayangNya. Inilah daratan yang mereka sepakati
sebagai Negeri Bertuah. Inilah daratan yang aku dan kita sepakat menamainya
Pulau Pesona.
………………………………………………………………………………………………………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar