Rabu, 20 Maret 2013

Seberang Pulau Pesona Episode: perjalanan abu-abu


Seberang Pulau Pesona
Episode: perjalanan abu-abu
Aku adalah aku, aku mewakili kamu, aku mewakili dia, aku mewakili mereka dan aku adalah kita. Yang sepakat menamainya Pulau Pesona.
……………………………………………………………………………………………………..
Layar abu-abu terbuka.Ya, abu-abu, karena kita tak tau dari mana arah kita, yang kita tau kita akan ke utara, seberang pulau pesona.
Kita sepakat tentang abu-abu, karena sulit untuk memaksanya dengan warna pelangi, sekali lagi tentang dari mana arah kita.
Aku adalah kita. Kita yang abu-abu. Karena yang kita tahu hanya waktu bukan jarak utara pulau pesona.
Kita berangkat dengan riuh, bahkan gemuruh, menebar senyum, mengumbar tawa, yang kita sepakati juga abu-abu. Karena tak sedikit juga air mata yang lelah hadirkan di antara jarak  senyum dan tawa.
Ya sekali lagi aku adalah kita yang masih memandang sepekan nanti abu-abu.
……………………………………………………………………………………………………..
Pelabuhan pertama, saat itu mentari masih terlihat sombong dengan terik yang mulai terasa. Bahu ini masih mampu menopang lelah, sangat mampu dan kita masih dengan riuh, mengumbar senyum dan tawa saat kita percaya bahwa yang akan membawa kita bukanlah perahu kertas seperti yang belum lama ini aku dan mungkin kita sama-sama menyaksikannya.
Sejenak semua hening, saat raung mesin memekakkan telinga dan sesaat pula kita khusuk dalam doa-doa. Hela nafas panjang terlihat hampir di antara semua raut kita saat perlahan daratan terasa menjauh. Sebagian dari kita seperti tak rela tinggalkan daratan, sebagian dari kita menatap jauh ke depan, dan sebagian dari kita lebih memilih diam di dalam dengan menciptakan kesibukan. Pelabuhan semakin terlihat jauh, meski kita masih bisa melihat daratan lainnya. Namun ada satu mata sendu yang menggangu pandanganku, hanya pandanganku bukan pandangan kita. Mata sendu yang mengambarkan kerinduan pada daratan yang baru sejanak kita tinggalkan.
Waktu itu 14.00. Ya, dengan jelas aku melirik jam tangan di sebalahku, dan sepertinya panas matahari juga menunjukan waktu yang sama. Aku memilih duduk di tepian bersama sebagian kita yang masih mampu menopang lelah. Deburan air dan pepohonan seakan menjadi pengalihan dari rasa takut yang coba kita sembunyikan dan dari kerinduan akan daratan terakhir.
“laut!!, ya laut!!, kita berada di laut”. Suara itu mengalihkan pandangan kita pada seseorang yang sedang mengusap-usap mulutnya yang terasa asin.
Ya, benar, kita sudah berada di laut. Kita akan melewati laut ini dan sekarang pandangan kita tak lagi pada pepohonan di tepian, tapi pada laut lepas yang terhampar luas.
Tiba-tiba mesin mati!!
Ya Tuhan. Aku dan kita merasakan degup jantung yang luar biasa. Berharap ini bukan klimaks dari cerita. Karena sepekan itu belum seharipun kita lewati. Seketika itu gelombang laut semakin terasa menggoyahkan, seperti ini rasanya terombang-ambing. Dan di sela degup jantung yang luar biasa, kembali ada yang mengusik pandanganku. Dia, yang sedari tadi diam, memandang jauh ke titik hitam. Dia menatap seakan memperhitungkan tenaga yang dia perlukan untuk sampai titik hitam yang diyakininya adalah daratan. Aku sempat tersenyum lalu kemudian larut dalam tatapan yang sama dan mulai memperhitungkan tenaga yang aku perlukan.
Seketika, serentak, hela nafas panjang seakan senada seirama. Raut tenang kembali hadir, senyum kembali merekah pada bibir kita yang sempat kelu saat dapat nahkoda pastikan kita lajutkan perjalanan.
Aku melirik lagi, pada jam tangan di sebelahku. Waktu itu 16.45. dan matahari sepertinya terlihat mulai leleh dengan kesombongannya. Senja. Kita berhamburan, mulai bisa mencoba menikmati perjalanan. Saat hembusan angin terasa menepiskan lelah. Ditambah dengan pesona terbenamnya matahari yang meneduhkan. Ya, ini adalah peristiwa yang tak akan aku dan kita semua melewatkan, bahkan melupakan. Ini senja pertama yang mampu hadirkan ketenangan. Senja yang meruntuhkan rasa takut yang sempat kita sembunyikan. Senja yang aku dan kita sepakati sebagai senja terindah.
Senja meredup. Semakin redup. Matahari kembali ke peraduan. Tinggalkan kita untuk sombong di sisi bumi lainnya. Sekarang gelap menguasai langit. Sekarang gelap menyelimuti sekitar  dan gelap kembali menghadirkan ketakutan yang sempat kita sembunyikan. Aku tak tahu sekarang pukul berapa. Tak ada lagi jam tangan di sebelahku, namun sepertinya magrib memberi kepastian waktu bahwa kita di kisaraan waktu petang. Aku dan kita sepakat untuk masuk, kembali membaur dengan sesama, di ruangan yang seperti lorong ini, kita coba untuk hadirkan kesibukkan, masih dengan riuh dan gemuruh, masih dengan mengumbar senyum dan tawa.
Di ruangan yang seperti lorong ini, ada sudut paling kusuka. sudut lorong yang dihiasi dua orang di antara kita semua. Dua orang yang sepertinya sejoli. Dua orang yang mengusik pandanganku. Dua orang yang hadirkan sisi romantika dari perjalannan abu-abu kita. Dua orang yang sepakat dan menyertakan aku juga kita untuk sepakat bahwa ini adalah makan malam paling indah. Indah. Karena hanya mereka berdua tanpa pedulikan kita yang ada di antaranya.
Dari kejauhan, kini mataku dan mata kita seakan mendapat arah pandang. Kelap-kelip di kejauhan seperti memberi sejuta harapan bahwa kita akan menemui daratan. Kelap-kelip yang mengurat senyum di bibir kita, kelap-kelip lampu pelabuhan. Ya. Pelabuhan. Semakin dekat semakin jelas, semakin meyakinkan diri kita bahwa Tuhan masih menyayangi kita. aku dan kita sepakat riuh gemuruh berkemas dan mengemas. Kita seperti manusia air yang rindu dan sangat merindukan daratan. Tak hentinya mata kita berpadu dengan rekah senyum yang seakan seirama. Pelabuhan. Ya. Pelabuhan kedua. Kita sepakat ini adalah pelabuhan terindah. Bukan karena dekorasinya namun karena harapan yang dihadirkanya. Palabuhan yang berarti daratan. Pelabuhan yang menjadi titik awal pijakan kita untuk sepekan yang nantinya aku ingin kita sepakat bahwa itu adalah sepekan terindah.
Perjalanan abu-abu ini berakhir. Berakhir di daratan terindah. Hela nafas panjang kembali hadir menghiasi masing-masing raut kita. Doa-doa manis tergurat indah tak hentinya bersyukur pada rasa sayangNya. Inilah daratan yang mereka sepakati sebagai Negeri Bertuah. Inilah daratan yang aku dan kita sepakat menamainya Pulau Pesona.
………………………………………………………………………………………………………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar