Selasa, 08 Juli 2014

Romantika logika eps. 5

Kita. Maya. Senja. Surakarta.


Senja pertama, nyata. Menjadi senja terakhir kita, senja air mata. Senja yang mengantarkanmu kini berlabuh di seberang sana. Surakarta.
Selasa Siang tengah hari, Bandara Supadio Pontianak. Aku mengantarkanmu. Memakasakan diri tuk rela lepaskanmu. Sadarku sepenuhnya tak ada alasan untukku menahanmu. Kau masih milik keluargamu. Sadar, kau pun tak akan memintanya.
Aku beku, masih beku semenjak air mata itu menjadikan bibir kita kelu. Kelu yang membuat kita lebih memilih diam dan hanya bisa diam. Dua puluh lima menit hingga sampainya di bandara, kita hanya diam. Entah apa yang terjadi, bahkan aku belum juga memikirkan kalimat perpisahan yang tepat. Kalimat perpisahan yang mungkin mengharukan seperti layaknya kisah cinta kacang di televisi yang tayang 3 kali sehari.
Lalu pada saat akhir diamku terusik suara yang kutangkap dari gerak bibirmu 
“nanti bila aku tak ada di sini, jangan mencariku, jangan merindukanku. Tunggu aku merindukanmu, Karena pada saat itu aku pasti mencarimu”. 
 Kalimat terakhir yang kau tutup dengan lambaian tangan bersama langkah tenangmu berbaur dengan mereka menuju pintu masuk. Aku kembali diam, sama seperti sebelum-sebelumya, setiap kalimat yang kau ucap selalu membiusku dalam kelu. 

Kekasih,
Terhitung dua minggu sudah. Pontianak tanpa senja. Hujan selalu membasahi sore. Mengubah teduh yang biasa menjadi dingin tanpa sisa-sisa. Hanya teduh bisikan bibir terakhirmu tempo itu yang terasa masih teduh dalam soreku dalam senja dinginku. Bagaimana di sana kekasih, di Surakarta? Apakah sama? atau justru di sana senja masih saja berjelaga, menemani sore mereka yang menggilainya.
Dua minggu sudah, semenjak lambaian terkahirmu tempo itu, kita tak lagi bertatap nyata bahkan pada maya. Mungkin kau sibuk, berkemas rumah baru, membereskan administrasi kepindahan kuliahmu. Ya, Aku mencoba mengerti. Karena pasti aku juga akan seperti itu bila menjadimu.

Kekasih,
Sekarang, senja bukan lagi tempatku mengadu. Bukan lagi tempat kita berbagi cerita. Waktu kini terasa mengalur biasa saja, tanpa istimewa. Kau pergi bukan hanya membawa raga, namun semua yang pernah kita punya. Mungkin aku melebihkan semua, ketika kuyakinkan bahwa batasan waktu yang Dia berikan untuk kita sebatas senja di langit sore Pontianak, lalu malam mengalur lebih lama mengegokan kuasa pada bulan dan bintang tanpa pedulikan resah saat hadirkan rinai hujan pada sore yang seharusnya lebih teduh dari malam panjang dan bulan bintang.

Kekasih. Selamat jalan. Aku merindukanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar