Kita. Maya. Senja. Surakarta.
Senja pertama, nyata. Menjadi senja terakhir
kita, senja air mata. Senja yang mengantarkanmu kini berlabuh di seberang sana.
Surakarta.
Selasa Siang tengah hari, Bandara Supadio
Pontianak. Aku mengantarkanmu. Memakasakan diri tuk rela lepaskanmu. Sadarku
sepenuhnya tak ada alasan untukku menahanmu. Kau masih milik keluargamu. Sadar,
kau pun tak akan memintanya.
Aku beku, masih beku semenjak air mata itu
menjadikan bibir kita kelu. Kelu yang membuat kita lebih memilih diam dan hanya
bisa diam. Dua puluh lima menit hingga sampainya di bandara, kita hanya diam.
Entah apa yang terjadi, bahkan aku belum juga memikirkan kalimat perpisahan
yang tepat. Kalimat perpisahan yang mungkin mengharukan seperti layaknya kisah
cinta kacang di televisi yang tayang 3 kali sehari.
Lalu pada saat akhir diamku terusik suara yang
kutangkap dari gerak bibirmu
“nanti bila
aku tak ada di sini, jangan mencariku, jangan merindukanku. Tunggu aku
merindukanmu, Karena pada saat itu aku pasti mencarimu”.
Kalimat terakhir
yang kau tutup dengan lambaian tangan bersama langkah tenangmu berbaur dengan
mereka menuju pintu masuk. Aku kembali diam, sama seperti sebelum-sebelumya,
setiap kalimat yang kau ucap selalu membiusku dalam kelu.
Kekasih,
Terhitung dua minggu sudah. Pontianak tanpa
senja. Hujan selalu membasahi sore. Mengubah teduh yang biasa menjadi dingin
tanpa sisa-sisa. Hanya teduh bisikan bibir terakhirmu tempo itu yang terasa
masih teduh dalam soreku dalam senja dinginku. Bagaimana di sana kekasih, di
Surakarta? Apakah sama? atau justru di sana senja masih saja berjelaga, menemani
sore mereka yang menggilainya.
Dua minggu sudah, semenjak lambaian terkahirmu
tempo itu, kita tak lagi bertatap nyata bahkan pada maya. Mungkin kau sibuk,
berkemas rumah baru, membereskan administrasi kepindahan kuliahmu. Ya, Aku
mencoba mengerti. Karena pasti aku juga akan seperti itu bila menjadimu.
Kekasih,
Sekarang, senja bukan lagi tempatku mengadu.
Bukan lagi tempat kita berbagi cerita. Waktu kini terasa mengalur biasa saja,
tanpa istimewa. Kau pergi bukan hanya membawa raga, namun semua yang pernah
kita punya. Mungkin aku melebihkan semua, ketika kuyakinkan bahwa batasan waktu
yang Dia berikan untuk kita sebatas senja di langit sore Pontianak, lalu malam
mengalur lebih lama mengegokan kuasa pada bulan dan bintang tanpa pedulikan
resah saat hadirkan rinai hujan pada sore yang seharusnya lebih teduh dari
malam panjang dan bulan bintang.
Kekasih. Selamat jalan. Aku merindukanmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar