Senin, 07 Juli 2014

romantika logika eps. 4

Senja Berpelangi


Kekasih,
Kau mendengarku kan? Kau pasti setuju.

Itu adalah pertanyaan terakhir dari percakapan kita bersama maya. Tak terjawab. Tak ada kata terucap. Hingga pada pagi ini anggukan kepalamu meyakinkanku tentang persetujuanmu. Meyakinkan kita untuk nyata pada senja. Meyakinkan kita untuk sejenak meninggalkan maya.
Kekasih,
Aku ingat siang itu. Sehari setelah perjumpaan kita bersama maya. Kita sepakat bertegur sapa dalam nyata. Berbagi bait-bait kata. Dengan nada. Dengan suara. Nyata. Aku dan kamu dalam satu suasana. Satu meja. Berbaur cerita tentang masing-masing kita. Hingga kita sama-sama yakin, kita sama-sama gila senja. Senja yang selalu kita bagi bersama maya, kini hanya kita berdua. Berbinar seakan pernah menikmatinya bersama.
Kekasih,
Pagi ini, seminggu setelah siang itu. Setelah anggukan persetujuanmu. Meyakinkan kita untuk nyata pada senja, senja beraroma romantika. Senja yang pesona. Pantai Dayung Permai. Pantai yang kita belum tahu bentuk nyatanya. Hanya kita pernah sekali berbagi cerita dari sahabat tentang senja di sana. Senja di hamparan pasir putih. Senja di antara dua pulau. Demi rasa penasaran. Demi sebuah keinginan tanpa tumpuan. Demi asa. Kita kesana. Sekali lagi ini demi asa.
Kekasih,
Sore ini, setelah 4 jam memacu kecepatan, merayu waktu, mencumbu jarak. Kurasakan jantungku berdegup kencang. Jantungmu juga. Saat terlihat oleh kita plang hijau bertuliskan tujuan dari anggan kita. Pantai Dayung Permai Pemangkat. Kekasih. Kita semakin dekat pada nyata. Pada senja. Aku berhenti. Menghela nafas panjang, dan kita melakukannya seakan seirama.
Hamparan pasir putih, luas membentang deburan air laut, langit biru membentuk cekungan seperempat lingkaran jatuh di belakang dua pulau. Matahari malu-malu bersinar dari kiri. Dan angin-angin sepoi membelai sampai ulu hati. Tenang, damai, renyuh, peluh, keluh, teduh, kenyuh, senang, kenang, entah dengan kata ngawur apa lagi kugambarkan pesona yang yang kini tengah membius kita. Yang membuat kita lupa pada yang sesaat tadi kita pacu, rayu, dan cumbu. Namun yang pasti kita berada di suatu tempat tanpa kata sia-sia. Yang akan kita jadikan cerita tanpa sisa-sisa.

Kekasih,
Entah siapa yang memulainya. Kini kita sama-sama berhenti bicara. Kita diam sembari sesekali memejamkan mata mencoba mengeja yang sedang kita rasa. Kita berhenti bicara. Di atas batu besar ini kita mendapatkan tempat ternyaman dari tempat bersadar lainnya. Sesaat aku teringat barisan sajak yang ditulis oleh Pay Jarot Sujawarwo.

“Kita pada senja. Setelah jejak kita ukir dengan cerita berbeda. Lalu kenangan, takkan pernah menyisakan percakapan. Cuma kesenyapan. Meriwayatkan cinta paling rahasia”

Ya. Mungkin itu yang kini kita rasakan. Pada senja, kita dipertemukan oleh senja, kita yang berbeda, kita yang datang dari ukiran skenario yang berbeda, dipertemukan senja. Mengilainya. Lalu saat tiba kita menjadikannya nyata, kita membisu pada masing-masing kata. Membuai rasa pada masing-masing cerita yang kita punya. Tanpa suara. Tanpa nada. Dan kita berhenti berbicara.
Langit mulai teduh, semakin teduh. Dan kita masih sama, belum berkata-kata. Belum bersuara. Hingga pada akhirnya seperti matahari yang semakin lalah menopang diri. Kau membuka bicara, 

“sajak Pay Jarot Sujarwo itu berjudul ‘kalau aku lebih dulu mati’ senja yang bermakna perpisahan”

Lalu kau kembali diam. Aku, mematung dalam gumpalan makna dari ucapanmu, membisu dengan segudang tanya, tanpa berani bertanya. Kekasih. Tak pernah kulihat kau menarik nafas sedalam ini, menghela nafas seberat ini, seperti menahan gejolak dalam tiap hembusan.

aku ingin tetap di sini”

Kalimat kedua yang kau ucapkan, masih sama seperti sebelumnya, kau kembali diam setelah sepenggal kalimat penuh hembusan tak tertahankan. Namun, sedikit berbeda, setelah kalimat itu, setelah hembusan tertahankan itu, kau hiasi pipimu dengan butiran bening dari kelopak sendu matamu. Sesuatu yang dalam. Yang tak tertahankan, air mata dari penggalan kalimat penuh makna yang pada akhirnya aku pahami sebagai “Surakarta”
Kekasih,
Mendekatlah, kudekapkan tubuhku, rengkuh tubuhmu,  sandarkan dibahuku, gemetar jemariku hapus air matamu. Eratkan genggaman jemariku jemarimu. Membagi gemuruhmu.

“sebelum kita bertemu,sebelum kopi malam itu, sebelum gerimis sore itu, sebelum sendu secarik kertas berisi sajak penuh duka itu, sebelum kelu dan beku yang kita ramu, hingga kita bertemu maya, hingga kita gila senja, hingga sekarang ini kita nyata pada angan dari asa-asa, Kekasih, aku tak pernah merasa sia-sia, tak akan pernah lelah kurangkai cerita kita. tanpa sisa-sisa. Dalam rinduku, dalam gila senjaku, dan pada butiran bening di teduh matamu itu, ‘Kau adalah pelangiku. Pemilik rona tujuh warna’”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar