Senja Berpelangi
Kekasih,
Kau mendengarku
kan? Kau pasti setuju.
Itu adalah
pertanyaan terakhir dari percakapan kita bersama maya. Tak terjawab. Tak ada
kata terucap. Hingga pada pagi ini anggukan kepalamu meyakinkanku tentang
persetujuanmu. Meyakinkan kita untuk nyata pada senja. Meyakinkan kita untuk
sejenak meninggalkan maya.
Kekasih,
Aku ingat siang
itu. Sehari setelah perjumpaan kita bersama maya. Kita sepakat bertegur sapa
dalam nyata. Berbagi bait-bait kata. Dengan nada. Dengan suara. Nyata. Aku dan
kamu dalam satu suasana. Satu meja. Berbaur cerita tentang masing-masing kita.
Hingga kita sama-sama yakin, kita sama-sama gila senja. Senja yang selalu kita
bagi bersama maya, kini hanya kita berdua. Berbinar seakan pernah menikmatinya
bersama.
Kekasih,
Pagi ini,
seminggu setelah siang itu. Setelah anggukan persetujuanmu. Meyakinkan kita
untuk nyata pada senja, senja beraroma romantika. Senja yang pesona. Pantai
Dayung Permai. Pantai yang kita belum tahu bentuk nyatanya. Hanya kita pernah
sekali berbagi cerita dari sahabat tentang senja di sana. Senja di hamparan
pasir putih. Senja di antara dua pulau. Demi rasa penasaran. Demi sebuah
keinginan tanpa tumpuan. Demi asa. Kita kesana. Sekali lagi ini demi asa.
Kekasih,
Sore ini, setelah
4 jam memacu kecepatan, merayu waktu, mencumbu jarak. Kurasakan jantungku
berdegup kencang. Jantungmu juga. Saat terlihat oleh kita plang hijau bertuliskan
tujuan dari anggan kita. Pantai Dayung Permai Pemangkat. Kekasih. Kita semakin
dekat pada nyata. Pada senja. Aku berhenti. Menghela nafas panjang, dan kita
melakukannya seakan seirama.
Hamparan pasir
putih, luas membentang deburan air laut, langit biru membentuk cekungan
seperempat lingkaran jatuh di belakang dua pulau. Matahari malu-malu bersinar
dari kiri. Dan angin-angin sepoi membelai sampai ulu hati. Tenang, damai, renyuh,
peluh, keluh, teduh, kenyuh, senang, kenang, entah dengan kata ngawur apa lagi kugambarkan pesona yang
yang kini tengah membius kita. Yang membuat kita lupa pada yang sesaat tadi
kita pacu, rayu, dan cumbu. Namun yang pasti kita berada di suatu tempat tanpa
kata sia-sia. Yang akan kita jadikan cerita tanpa sisa-sisa.
Kekasih,
Entah siapa yang
memulainya. Kini kita sama-sama berhenti bicara. Kita diam sembari sesekali memejamkan
mata mencoba mengeja yang sedang kita rasa. Kita berhenti bicara. Di atas batu
besar ini kita mendapatkan tempat ternyaman dari tempat bersadar lainnya.
Sesaat aku teringat barisan sajak yang ditulis oleh Pay Jarot Sujawarwo.
“Kita pada senja. Setelah jejak kita ukir dengan cerita berbeda.
Lalu kenangan, takkan pernah menyisakan percakapan. Cuma kesenyapan.
Meriwayatkan cinta paling rahasia”
Ya.
Mungkin itu yang kini kita rasakan. Pada senja, kita dipertemukan oleh senja,
kita yang berbeda, kita yang datang dari ukiran skenario yang berbeda,
dipertemukan senja. Mengilainya. Lalu saat tiba kita menjadikannya nyata, kita
membisu pada masing-masing kata. Membuai rasa pada masing-masing cerita yang
kita punya. Tanpa suara. Tanpa nada. Dan kita berhenti berbicara.
Langit mulai
teduh, semakin teduh. Dan kita masih sama, belum berkata-kata. Belum bersuara.
Hingga pada akhirnya seperti matahari yang semakin lalah menopang diri. Kau
membuka bicara,
“sajak Pay Jarot Sujarwo itu berjudul ‘kalau aku lebih dulu mati’ senja
yang bermakna perpisahan”
Lalu kau
kembali diam. Aku, mematung dalam gumpalan makna dari ucapanmu, membisu dengan
segudang tanya, tanpa berani bertanya. Kekasih. Tak pernah kulihat kau menarik
nafas sedalam ini, menghela nafas seberat ini, seperti menahan gejolak dalam
tiap hembusan.
“aku ingin tetap di sini”
Kalimat
kedua yang kau ucapkan, masih sama seperti sebelumnya, kau kembali diam setelah
sepenggal kalimat penuh hembusan tak tertahankan. Namun, sedikit berbeda,
setelah kalimat itu, setelah hembusan tertahankan itu, kau hiasi pipimu dengan
butiran bening dari kelopak sendu matamu. Sesuatu yang dalam. Yang tak
tertahankan, air mata dari penggalan kalimat penuh makna yang pada akhirnya aku
pahami sebagai “Surakarta”
Kekasih,
Mendekatlah,
kudekapkan tubuhku, rengkuh tubuhmu,
sandarkan dibahuku, gemetar jemariku hapus air matamu. Eratkan genggaman
jemariku jemarimu. Membagi gemuruhmu.
“sebelum kita bertemu,sebelum kopi malam itu, sebelum gerimis sore
itu, sebelum sendu secarik kertas berisi sajak penuh duka itu, sebelum kelu dan
beku yang kita ramu, hingga kita bertemu maya, hingga kita gila senja, hingga
sekarang ini kita nyata pada angan dari asa-asa, Kekasih, aku tak pernah merasa
sia-sia, tak akan pernah lelah kurangkai cerita kita. tanpa sisa-sisa. Dalam
rinduku, dalam gila senjaku, dan pada butiran bening di teduh matamu itu, ‘Kau
adalah pelangiku. Pemilik rona tujuh warna’”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar