Kita. Maya. Senja
Kekasih,
Aku pada maya malam ini. Esok hari. Pagi nanti. Dan hingga malam
berganti lagi.
Kekasih,
Tahukan
kamu betapa aku menggilai maya. Sama sepertimu. Gila. Hari ini aku berniat
menjenguknya. Untuk memastikan rinduku padamu tak berbentuk kelu. Sama
sepertimu, aku berharap maya menerima jengukmu. Menjadikan rindu tak beku tak
berbentuk kelu.
Kekasih,
Malam ini aku
cemburu pada maya. Cemburu pada mereka, yang dengan sengaja mencumbu maya. Kau
juga merasakannya. Kekasih. Karena mereka rinduku beku.
Aku ingat
tempo itu, maya mempertemukan kita pada bait-bait kata. Kau menyapaku dengan
gemetar jari dan aku menyapamu dengan gemuruh hati. Aku ingat. Maya. Menyatukan
kita pada cerita tentang senja, membius kita pada cerita yang kita tak pernah
pada nyata. Lalu kita larut pada senja tak nyata. Senja dini hari.
Senja. Kita.
Gila. Ya…kita gila. Gila pada senja. Gila pada maya.
Kekasih,
Masihkan kau
simpan potret senja Kayong Utara, yang kutitipkan lewat maya? Senja yang
nantinya akan kita nikmati bersama.
Potret itu
aku dapatkan dari seorang sahabat yang juga gila senja. Potret yang
menceritakan cerita cinta mereka, yang membuat aku menghela dada. Sebuah senja.
Bersama. Berdua. Tanpa maya. Iya. Kekasih. Tanpa maya. Mereka bersama, merajut
cerita mereka dalam buaian senja nyata tanpa maya. Berbeda dengan kita. kita
yang gila senja pada maya.
Tapi.
Kekasih. Aku tidak cemburu. Akupun tidak merasakan beku. Mereka. Bersama.
Berdua. Potret senja. Lembaran cinta.
Ah….nanti
akan kusampaikan pada maya, bahwa kita akan ciptakan senja kita. lebih dari
potret senja Kayong Utara. Lebih dari lembaran-lembaran cinta mereka. Yang
nyata.
Kekasih. Kau
mendengarku kan? Kau pasti setuju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar