Senin, 07 Juli 2014

Romantika logika eps. 3


Kita. Maya. Senja

Kekasih,
Aku pada maya malam ini. Esok hari. Pagi nanti. Dan hingga malam berganti lagi.
Kekasih,

Tahukan kamu betapa aku menggilai maya. Sama sepertimu. Gila. Hari ini aku berniat menjenguknya. Untuk memastikan rinduku padamu tak berbentuk kelu. Sama sepertimu, aku berharap maya menerima jengukmu. Menjadikan rindu tak beku tak berbentuk kelu.
Kekasih,

Malam ini aku cemburu pada maya. Cemburu pada mereka, yang dengan sengaja mencumbu maya. Kau juga merasakannya. Kekasih. Karena mereka rinduku beku.

Aku ingat tempo itu, maya mempertemukan kita pada bait-bait kata. Kau menyapaku dengan gemetar jari dan aku menyapamu dengan gemuruh hati. Aku ingat. Maya. Menyatukan kita pada cerita tentang senja, membius kita pada cerita yang kita tak pernah pada nyata. Lalu kita larut pada senja tak nyata. Senja dini hari.
Senja. Kita. Gila. Ya…kita gila. Gila pada senja. Gila pada maya.
Kekasih,
Masihkan kau simpan potret senja Kayong Utara, yang kutitipkan lewat maya? Senja yang nantinya akan kita nikmati bersama.

Potret itu aku dapatkan dari seorang sahabat yang juga gila senja. Potret yang menceritakan cerita cinta mereka, yang membuat aku menghela dada. Sebuah senja. Bersama. Berdua. Tanpa maya. Iya. Kekasih. Tanpa maya. Mereka bersama, merajut cerita mereka dalam buaian senja nyata tanpa maya. Berbeda dengan kita. kita yang gila senja pada maya.

Tapi. Kekasih. Aku tidak cemburu. Akupun tidak merasakan beku. Mereka. Bersama. Berdua. Potret senja. Lembaran cinta.

Ah….nanti akan kusampaikan pada maya, bahwa kita akan ciptakan senja kita. lebih dari potret senja Kayong Utara. Lebih dari lembaran-lembaran cinta mereka. Yang nyata.
Kekasih. Kau mendengarku kan? Kau pasti setuju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar