Pelangi
Tepian sungai
Kapuas. Café Tsunami. Di sana kali kedua kita bertemu. ketika gerimis sore itu
gantikan hujan saat siang. Saat mendadak kau memintaku menemuimu.
Aku ingat sore
itu kau jamu aku dengan sendu. Entah mengapa setiap kali raut itu kau hadirkan
hatiku tersentak. Aku terbius. Aku membisu. Dan untuk kesekian kalinya tak
berani aku mempertanyakan.
Aku ingat sehari
sebelum kita bertemu. sebelum kau memintaku. Kau pernah titipkan pada temanku
secarik kertas penuh tulisan untukku. Masih tesimpan rapi untaian kata yang
bermakna luka. Kekasih, aku juga turut luka. Meski sadar, kau tak pernah
meminta. Ingin sekali kuminta kau mendekat. Ringankan lukamu. Meski terbata lalu
kubantu kau mengeja bahagia.
Kekasih,
Lihatlah,
gerimis mereda. Lagitnya abu-abu. Sendu sekali. Kali ini aku mulai terbiasa
mengimbangimu bercerita bukan dengan diam. Kekasih, kau lihat, di sebelah sana,
peraduan warna di langit itu. Itu yang setengah lingkaran. Pelangi kekasih.
Kali ini biar aku yang menjadi pembicaranya, dan kau, diamlah,dengarkan
ceritaku.
Pelangi itu,
gambaran keindahan, gambaran kesempurnaan, mereka dibentuk dari warna yang
berbeda. Berpadu, dan kau lihat mereka terlihat sangat manis. Haha Tuhan maha
sempurna, sepertinya dia telah dengan detail menciptakan skenarionya. Dan
sepertinya hujan pun tahu kapan waktunya untuk reda, lalu hadirkan pelangi
sebagai hiasan termanis satelah langit lelah mencurahkan air matanya.
Seperti itu pula,
kekasih, yang kuinginkan darimu. Sehari sebelum
sendu di gerimis sore ini, aku menyakini bahwa yang kau alami, yang kau
tuliskan di secarik kertas itu, pasti segera mereda dan lalu aku akan segera
melihat ukiran manis yang kau pancarkan dalam tiap rona-rona senyum dan
binarmu.
Kali ini kau
benar-benar diam. Maaf. Kekasih. Aku terlalu banyak bicara. Tiba-tiba kau
beranjak dari tempat dudukmu, mengatur tempat duduk tepat di sebelahku. Kau rangkulkan
tanganmu di lenganku. Kau sandarkan kepalamu di bahuku. Aku tetap diam. Aku
semakin membisu saat aku rasakan ada yang membasahi bahuku. Kau menangis. Dan
itu terjadi di bahuku. Hatiku bergejolak. Coba mencari kata yang tepat untuk
setidaknya membuatmu lebih tenang. Tapi aku gagal. Bibirku kelu. Dan seperti
sebelumnya aku membisu.
Untuk beberapa
saat kau masih tersedu. Merelakan air matamu jatuh di bahuku. Sampai saat tak
lagi kudengar isakkanmu, kau angkat kepalamu tegak dari peraduan sebelumnya.
Dan kau ucapkan kata yang sampai saat ini masih terdengar jelas di telingaku
“bantu aku temukan pelangi itu, tetaplah di sampingku, jadilah hujan yang tahu
waktunya untuk reda, jadilah hujan yang basahai aku dengan semua ceritamu, lalu
akan kuhiasi langit sendumu dengan pelangiku.”
Iya. Kekasihku.
Pelangiku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar