Minggu, 06 Juli 2014

Romantika logika eps. 2


Pelangi

Tepian sungai Kapuas. Café Tsunami. Di sana kali kedua kita bertemu. ketika gerimis sore itu gantikan hujan saat siang. Saat mendadak kau memintaku menemuimu.





Aku ingat sore itu kau jamu aku dengan sendu. Entah mengapa setiap kali raut itu kau hadirkan hatiku tersentak. Aku terbius. Aku membisu. Dan untuk kesekian kalinya tak berani aku mempertanyakan.

Aku ingat sehari sebelum kita bertemu. sebelum kau memintaku. Kau pernah titipkan pada temanku secarik kertas penuh tulisan untukku. Masih tesimpan rapi untaian kata yang bermakna luka. Kekasih, aku juga turut luka. Meski sadar, kau tak pernah meminta. Ingin sekali kuminta kau mendekat. Ringankan lukamu. Meski terbata lalu kubantu kau mengeja bahagia.
Kekasih,

Lihatlah, gerimis mereda. Lagitnya abu-abu. Sendu sekali. Kali ini aku mulai terbiasa mengimbangimu bercerita bukan dengan diam. Kekasih, kau lihat, di sebelah sana, peraduan warna di langit itu. Itu yang setengah lingkaran. Pelangi kekasih. Kali ini biar aku yang menjadi pembicaranya, dan kau, diamlah,dengarkan ceritaku.

Pelangi itu, gambaran keindahan, gambaran kesempurnaan, mereka dibentuk dari warna yang berbeda. Berpadu, dan kau lihat mereka terlihat sangat manis. Haha Tuhan maha sempurna, sepertinya dia telah dengan detail menciptakan skenarionya. Dan sepertinya hujan pun tahu kapan waktunya untuk reda, lalu hadirkan pelangi sebagai hiasan termanis satelah langit lelah mencurahkan air matanya.

Seperti itu pula, kekasih, yang kuinginkan darimu. Sehari sebelum  sendu di gerimis sore ini, aku menyakini bahwa yang kau alami, yang kau tuliskan di secarik kertas itu, pasti segera mereda dan lalu aku akan segera melihat ukiran manis yang kau pancarkan dalam tiap rona-rona senyum dan binarmu.

Kali ini kau benar-benar diam. Maaf. Kekasih. Aku terlalu banyak bicara. Tiba-tiba kau beranjak dari tempat dudukmu, mengatur tempat duduk tepat di sebelahku. Kau rangkulkan tanganmu di lenganku. Kau sandarkan kepalamu di bahuku. Aku tetap diam. Aku semakin membisu saat aku rasakan ada yang membasahi bahuku. Kau menangis. Dan itu terjadi di bahuku. Hatiku bergejolak. Coba mencari kata yang tepat untuk setidaknya membuatmu lebih tenang. Tapi aku gagal. Bibirku kelu. Dan seperti sebelumnya aku membisu.

Untuk beberapa saat kau masih tersedu. Merelakan air matamu jatuh di bahuku. Sampai saat tak lagi kudengar isakkanmu, kau angkat kepalamu tegak dari peraduan sebelumnya. Dan kau ucapkan kata yang sampai saat ini masih terdengar jelas di telingaku “bantu aku temukan pelangi itu, tetaplah di sampingku, jadilah hujan yang tahu waktunya untuk reda, jadilah hujan yang basahai aku dengan semua ceritamu, lalu akan kuhiasi langit sendumu dengan pelangiku.”
Iya. Kekasihku. Pelangiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar