Selasa, 08 Juli 2014

Romantika logika eps. 6



 Janji Kayong

Kekasih,
Aku di kayong utara, kuputuskan kembali gila senja. Setelah lama tak lagi kita cumbu maya. Kayong kekasih.tempat yang selama ini kita impikan.

Masih ingatkah kau. Kekasih. Foto yang kutunjukan padamu. Foto yang aku peroleh dari temanku. Sama persis kekasih. Mereka benar-benar tidak bohong tentang senja yang sangat indah. Sangat teduh.

Dimulai dari mentari yang mulai condong perlaha malu-malu, diikuti bisikan angin yang memaksa mencumbu lalu rebahkan semuanya di hamparan putih bersih yang sedikit demi sedikit perlahan tersapu belaian manja riak-riak busa air laut. Oh ya kekasih. Ingat soundtrack film grey & jingga yang kita tonton 7 kali?  Mungkin Ini seharusnya menjadi kisah cinta senja termanis. Kuputar ulang berkali-kali lagu yang kuyakini menjadi lagu kesukaanmu itu. Sengaja berkali-kali, kunikmati tiap lirik-lirik dan alunan nadanya. Merasakan kehadiranmu. Di di sini di dekatku bersama menikmati senja termanis.

“Senja membeku, jingga selaras, terbiaskan lagu, perlahan. Melantunkan nada-nada tentang cinta. Kadang benci jadi rindu terbiasa. lenyap dalam alunan nada-nadanya. Kisah cinta senja termanis, manis.karna cinta takkan menunggu dia merindukanmu.”

Kekasih,  Mungkinkah ini akhir yang kita ciptakan sendiri. Dari awal yang tidak pernah kita rencanakan lalu kita akhiri semua tanpa rencana pula. Luluhkan angan tentang mimpi tantang janji.

Sama seperti senja yang tak pernah kita rncanakan, meskipun kita bisa menunggunya, namun apa yang bisa kita lakukan saat malam mulai beranjak, membawa pakat remang tutup teduh dalam balutan sepi-sepi.

Kita bertemu dalam ruang yang kita tak pernah tau skenarionya, lalu mentari redup hadirkan senja yang menyatukan kita dalam rasa yang tak terungkap hingga pada saat kita harus menyadari bahwa semua tak abadi, matahari seakan tahu kapan waktunya untuk lelah, lalu mengantikan hadirnya dengan teduh senja. hujan yang tahu kapan waktunya untuk berhenti untuk menepati janji pada pelangi yang sabar menatikan redanya dan kita yang menyadari sepenuhnya bahwa pertemuan dan perpisahan adalah kesatuan yang terikat dalam satu gengaman. Terimakasih. Kekasih. Pernah bersama menjadi bagian dari ikatan, pernah bersama dalam jarak antara pertemuan dan perpisahan. Pontiankku dan Surakartamu. Sederhana hanya tentang jarak. sebatas jarak. Dan aku meyakininya sebagai skenario dari alur-alur yang pernah kita lalui. Kisah kita. kisah senja. Kisah maya. Berakhir pada episode jarak.

          Senjaku hari ini kekasih. Menyadarkanku. Penggalan puisi milik Pay Djarot Sujarwo, kalimat sebelum lambaian terakhirmu tempo itu. Lalu lantunan “kisah cinta senja termanis”, semua itu tak berarti pada sebuah kebahagian seperti layaknya kisah-kisah cinta kacang di serial TV yang tayang 3 kali sehari.

Senjaku hari ini kekasih. Aku merindukanmu.


Romantika logika eps. 5

Kita. Maya. Senja. Surakarta.


Senja pertama, nyata. Menjadi senja terakhir kita, senja air mata. Senja yang mengantarkanmu kini berlabuh di seberang sana. Surakarta.
Selasa Siang tengah hari, Bandara Supadio Pontianak. Aku mengantarkanmu. Memakasakan diri tuk rela lepaskanmu. Sadarku sepenuhnya tak ada alasan untukku menahanmu. Kau masih milik keluargamu. Sadar, kau pun tak akan memintanya.
Aku beku, masih beku semenjak air mata itu menjadikan bibir kita kelu. Kelu yang membuat kita lebih memilih diam dan hanya bisa diam. Dua puluh lima menit hingga sampainya di bandara, kita hanya diam. Entah apa yang terjadi, bahkan aku belum juga memikirkan kalimat perpisahan yang tepat. Kalimat perpisahan yang mungkin mengharukan seperti layaknya kisah cinta kacang di televisi yang tayang 3 kali sehari.
Lalu pada saat akhir diamku terusik suara yang kutangkap dari gerak bibirmu 
“nanti bila aku tak ada di sini, jangan mencariku, jangan merindukanku. Tunggu aku merindukanmu, Karena pada saat itu aku pasti mencarimu”. 
 Kalimat terakhir yang kau tutup dengan lambaian tangan bersama langkah tenangmu berbaur dengan mereka menuju pintu masuk. Aku kembali diam, sama seperti sebelum-sebelumya, setiap kalimat yang kau ucap selalu membiusku dalam kelu. 

Kekasih,
Terhitung dua minggu sudah. Pontianak tanpa senja. Hujan selalu membasahi sore. Mengubah teduh yang biasa menjadi dingin tanpa sisa-sisa. Hanya teduh bisikan bibir terakhirmu tempo itu yang terasa masih teduh dalam soreku dalam senja dinginku. Bagaimana di sana kekasih, di Surakarta? Apakah sama? atau justru di sana senja masih saja berjelaga, menemani sore mereka yang menggilainya.
Dua minggu sudah, semenjak lambaian terkahirmu tempo itu, kita tak lagi bertatap nyata bahkan pada maya. Mungkin kau sibuk, berkemas rumah baru, membereskan administrasi kepindahan kuliahmu. Ya, Aku mencoba mengerti. Karena pasti aku juga akan seperti itu bila menjadimu.

Kekasih,
Sekarang, senja bukan lagi tempatku mengadu. Bukan lagi tempat kita berbagi cerita. Waktu kini terasa mengalur biasa saja, tanpa istimewa. Kau pergi bukan hanya membawa raga, namun semua yang pernah kita punya. Mungkin aku melebihkan semua, ketika kuyakinkan bahwa batasan waktu yang Dia berikan untuk kita sebatas senja di langit sore Pontianak, lalu malam mengalur lebih lama mengegokan kuasa pada bulan dan bintang tanpa pedulikan resah saat hadirkan rinai hujan pada sore yang seharusnya lebih teduh dari malam panjang dan bulan bintang.

Kekasih. Selamat jalan. Aku merindukanmu.

Senin, 07 Juli 2014

romantika logika eps. 4

Senja Berpelangi


Kekasih,
Kau mendengarku kan? Kau pasti setuju.

Itu adalah pertanyaan terakhir dari percakapan kita bersama maya. Tak terjawab. Tak ada kata terucap. Hingga pada pagi ini anggukan kepalamu meyakinkanku tentang persetujuanmu. Meyakinkan kita untuk nyata pada senja. Meyakinkan kita untuk sejenak meninggalkan maya.
Kekasih,
Aku ingat siang itu. Sehari setelah perjumpaan kita bersama maya. Kita sepakat bertegur sapa dalam nyata. Berbagi bait-bait kata. Dengan nada. Dengan suara. Nyata. Aku dan kamu dalam satu suasana. Satu meja. Berbaur cerita tentang masing-masing kita. Hingga kita sama-sama yakin, kita sama-sama gila senja. Senja yang selalu kita bagi bersama maya, kini hanya kita berdua. Berbinar seakan pernah menikmatinya bersama.
Kekasih,
Pagi ini, seminggu setelah siang itu. Setelah anggukan persetujuanmu. Meyakinkan kita untuk nyata pada senja, senja beraroma romantika. Senja yang pesona. Pantai Dayung Permai. Pantai yang kita belum tahu bentuk nyatanya. Hanya kita pernah sekali berbagi cerita dari sahabat tentang senja di sana. Senja di hamparan pasir putih. Senja di antara dua pulau. Demi rasa penasaran. Demi sebuah keinginan tanpa tumpuan. Demi asa. Kita kesana. Sekali lagi ini demi asa.
Kekasih,
Sore ini, setelah 4 jam memacu kecepatan, merayu waktu, mencumbu jarak. Kurasakan jantungku berdegup kencang. Jantungmu juga. Saat terlihat oleh kita plang hijau bertuliskan tujuan dari anggan kita. Pantai Dayung Permai Pemangkat. Kekasih. Kita semakin dekat pada nyata. Pada senja. Aku berhenti. Menghela nafas panjang, dan kita melakukannya seakan seirama.
Hamparan pasir putih, luas membentang deburan air laut, langit biru membentuk cekungan seperempat lingkaran jatuh di belakang dua pulau. Matahari malu-malu bersinar dari kiri. Dan angin-angin sepoi membelai sampai ulu hati. Tenang, damai, renyuh, peluh, keluh, teduh, kenyuh, senang, kenang, entah dengan kata ngawur apa lagi kugambarkan pesona yang yang kini tengah membius kita. Yang membuat kita lupa pada yang sesaat tadi kita pacu, rayu, dan cumbu. Namun yang pasti kita berada di suatu tempat tanpa kata sia-sia. Yang akan kita jadikan cerita tanpa sisa-sisa.

Kekasih,
Entah siapa yang memulainya. Kini kita sama-sama berhenti bicara. Kita diam sembari sesekali memejamkan mata mencoba mengeja yang sedang kita rasa. Kita berhenti bicara. Di atas batu besar ini kita mendapatkan tempat ternyaman dari tempat bersadar lainnya. Sesaat aku teringat barisan sajak yang ditulis oleh Pay Jarot Sujawarwo.

“Kita pada senja. Setelah jejak kita ukir dengan cerita berbeda. Lalu kenangan, takkan pernah menyisakan percakapan. Cuma kesenyapan. Meriwayatkan cinta paling rahasia”

Ya. Mungkin itu yang kini kita rasakan. Pada senja, kita dipertemukan oleh senja, kita yang berbeda, kita yang datang dari ukiran skenario yang berbeda, dipertemukan senja. Mengilainya. Lalu saat tiba kita menjadikannya nyata, kita membisu pada masing-masing kata. Membuai rasa pada masing-masing cerita yang kita punya. Tanpa suara. Tanpa nada. Dan kita berhenti berbicara.
Langit mulai teduh, semakin teduh. Dan kita masih sama, belum berkata-kata. Belum bersuara. Hingga pada akhirnya seperti matahari yang semakin lalah menopang diri. Kau membuka bicara, 

“sajak Pay Jarot Sujarwo itu berjudul ‘kalau aku lebih dulu mati’ senja yang bermakna perpisahan”

Lalu kau kembali diam. Aku, mematung dalam gumpalan makna dari ucapanmu, membisu dengan segudang tanya, tanpa berani bertanya. Kekasih. Tak pernah kulihat kau menarik nafas sedalam ini, menghela nafas seberat ini, seperti menahan gejolak dalam tiap hembusan.

aku ingin tetap di sini”

Kalimat kedua yang kau ucapkan, masih sama seperti sebelumnya, kau kembali diam setelah sepenggal kalimat penuh hembusan tak tertahankan. Namun, sedikit berbeda, setelah kalimat itu, setelah hembusan tertahankan itu, kau hiasi pipimu dengan butiran bening dari kelopak sendu matamu. Sesuatu yang dalam. Yang tak tertahankan, air mata dari penggalan kalimat penuh makna yang pada akhirnya aku pahami sebagai “Surakarta”
Kekasih,
Mendekatlah, kudekapkan tubuhku, rengkuh tubuhmu,  sandarkan dibahuku, gemetar jemariku hapus air matamu. Eratkan genggaman jemariku jemarimu. Membagi gemuruhmu.

“sebelum kita bertemu,sebelum kopi malam itu, sebelum gerimis sore itu, sebelum sendu secarik kertas berisi sajak penuh duka itu, sebelum kelu dan beku yang kita ramu, hingga kita bertemu maya, hingga kita gila senja, hingga sekarang ini kita nyata pada angan dari asa-asa, Kekasih, aku tak pernah merasa sia-sia, tak akan pernah lelah kurangkai cerita kita. tanpa sisa-sisa. Dalam rinduku, dalam gila senjaku, dan pada butiran bening di teduh matamu itu, ‘Kau adalah pelangiku. Pemilik rona tujuh warna’”


Romantika logika eps. 3


Kita. Maya. Senja

Kekasih,
Aku pada maya malam ini. Esok hari. Pagi nanti. Dan hingga malam berganti lagi.
Kekasih,

Tahukan kamu betapa aku menggilai maya. Sama sepertimu. Gila. Hari ini aku berniat menjenguknya. Untuk memastikan rinduku padamu tak berbentuk kelu. Sama sepertimu, aku berharap maya menerima jengukmu. Menjadikan rindu tak beku tak berbentuk kelu.
Kekasih,

Malam ini aku cemburu pada maya. Cemburu pada mereka, yang dengan sengaja mencumbu maya. Kau juga merasakannya. Kekasih. Karena mereka rinduku beku.

Aku ingat tempo itu, maya mempertemukan kita pada bait-bait kata. Kau menyapaku dengan gemetar jari dan aku menyapamu dengan gemuruh hati. Aku ingat. Maya. Menyatukan kita pada cerita tentang senja, membius kita pada cerita yang kita tak pernah pada nyata. Lalu kita larut pada senja tak nyata. Senja dini hari.
Senja. Kita. Gila. Ya…kita gila. Gila pada senja. Gila pada maya.
Kekasih,
Masihkan kau simpan potret senja Kayong Utara, yang kutitipkan lewat maya? Senja yang nantinya akan kita nikmati bersama.

Potret itu aku dapatkan dari seorang sahabat yang juga gila senja. Potret yang menceritakan cerita cinta mereka, yang membuat aku menghela dada. Sebuah senja. Bersama. Berdua. Tanpa maya. Iya. Kekasih. Tanpa maya. Mereka bersama, merajut cerita mereka dalam buaian senja nyata tanpa maya. Berbeda dengan kita. kita yang gila senja pada maya.

Tapi. Kekasih. Aku tidak cemburu. Akupun tidak merasakan beku. Mereka. Bersama. Berdua. Potret senja. Lembaran cinta.

Ah….nanti akan kusampaikan pada maya, bahwa kita akan ciptakan senja kita. lebih dari potret senja Kayong Utara. Lebih dari lembaran-lembaran cinta mereka. Yang nyata.
Kekasih. Kau mendengarku kan? Kau pasti setuju.