secangkir kopi, tiga batang rokok, dan segudang imajinasi ;kamar teduh untuk perempuanku kekasihku
Sabtu, 28 Desember 2013
Perempuan Sela Hujan
Ibu, katakan pada dia yang berlesung pipit di sana, yang sedang menungguku, akan kutentang jarak yang selama ini menjadikannya pemuja waktu. katakan padanya aku akan tetap di sini, menikmati hujan yang sejak tadi teduhkan senja. lalu biarkan Ia tetap tersenyum dalam lantunan doa-doa yang terselip tanpa kesedihan..
Perempuanku adalah kamu, pemilik manis di sela hujan. Yang menjadiakan gemuruh riuh mereka yang menolaknya. Hujan yang pudarkan ingatanku tentang senja yang matahari hasilkan saat ia beranjak tunduk malu-malu. Perempuanku, dalam balutan basah di antara resah.
Perempuanku adalah engkau yang kukenal lebih dari lima tahun lalu, yang kukenal dalam ruang bernama teman. Sebelum sajak-sajakku mengalur lebih lama untuk sekedar bercerita tentang matahari sore. Kau perempuanku yang menamparku tentang megahnya matahari pagi hari, meski sampai kini aku harus berpura-pura menyukainya. Aku justru tak pernah menjumpainya.
Aku memilih senja karena kesenanganku menikmati tawa bersama mereka yang telah banyak mengeluh tentang panasnya hari, aku memilih malam karena kopi ternikmat adalah saat malam mulai beranjak menuju dini hari. Pahit dalam seduhan hangatnya menenangkan. Tapi perempuanku, untuk kali ini aku harus akui, setelah lima tahun itu, aku kalah hanya dalam 30 hari, saat kau hadir dengan kekuasaanmu akan rasa, menarikku sipencinta senja dan kopi dini hari. Aku pasrah ketika kau sentuh aku yang tengah gusar akan lelahnya sisa-sisa hari yang seakan mengejar untuk menancapkan sebilah pisau dapur di tengkukku.
Kau perempuanku, yang hadir bersama hujan yang sejadi-jadinya, memelukku dalam basah, membisikkan kata-kata yang sulit kuartikan dalam beberapa kajian. Kau menyederhanakan hujan sebagai bagian dari alam yang menghadirkan perlindungan akan air mata yang tak direlakan tuannya atas dasar keegoan. Hujan yang memberi harapan pada mereka yang merisaukan masa depan. Kau perempuanku, hujan yang tahu waktunya untuk reda, lalu kemudian menyelimutiku dengan warna-warni.
Jumat, 27 Desember 2013
Semusim
Kutitipkan untukmu ribuan kata tanpa jeda.
Kutitipkan pada sejuk yang angin bawa di Februari.
Biarkan buai melarutkan asa pada tiap hembusnya
Pada tiap teduhnya
Kutitipkan pada kering yang angin bawa di awal Juli
Biarkan lara menyatu dalam jengah matahari
pada embun di daun kering
lalu; kutitipkan untukmu rindu tanpa perindu
kutitipkan pada basah yang angin bawa di sepertiga September
biarkan rindu lembab pada tiap dera derasnya
pada gemuruh pada kilatan pada gelegar
esok; kujumpai engkau di akhir Desember
mencumbu rasa tanpa nada, pada cinta dua puluh enam aksara.
Pontianak, 25 Desember 2012
(mungkin) bahagia
Bagaimana bisa aku masuk ke dalam hati yang nyatanya sudah berpenghuni?,
Meski penghuni itu hanyalah ilusi, yang masih saja dibawa dari masa-masa yang sudah terlewati..
Bagaimana bisa aku bersikeras untuk masuk, sedangkan pemilik kediaman tidak akan mempersilakan aku duduk?,
Pada akhirnya nanti, aku akan sampai pada titik di mana aku harus bangun dari segala mimpi..
Pada akhirnya nanti, aku harus menyadari bahwa ada hal-hal yang telah disediakan namun bukan untuk aku miliki..
Pada akhirnya nanti, aku yang harus memilih untuk memperjuangkanmu hingga letih, atau mempersiapkan diri untuk kemudian pergi..
Pada akhirnya nanti, aku akan menemui saat-saat di mana sudah tidak memungkinkan lagi untuk memperjuangkan. .
Bukankah tak ada artinya menunggu padahal kamu bukanlah untuk kutunggu?,
Bukankah tidak mungkin aku memiliki sesuatu yang tidak diperuntukkan bagiku?,
Ketika aku memutuskan untuk angkat kaki, itu artinya aku tidak ingin mempertahankan kamu lagi..
Ketika aku menganggap segalanya usai, itu artinya kamu bukan lagi sesuatu yang ingin aku gapai..
Mungkin kita bukanlah untuk saling mencari dan melengkapi..
Siapa tahu, kebahagiaanmu sudah Tuhan rancang di tangan orang lain..
Kebahagiaanku juga pasti sudah disediakan sebaik mungkin..
Aku melepas kamu sebagai hati yang ingin aku pilih, dan kuharap bisa membuatnya pulih..
Namun kini, aku membiarkan kamu untuk berlabuh ke manapun yang kamu mau..
Karena di titik ini, aku sudah dengan pasti mampu melepaskan dan merelakan..
Mari pergi dari titik ini, dan cari bahagia kita sendiri..
Meski penghuni itu hanyalah ilusi, yang masih saja dibawa dari masa-masa yang sudah terlewati..
Bagaimana bisa aku bersikeras untuk masuk, sedangkan pemilik kediaman tidak akan mempersilakan aku duduk?,
Pada akhirnya nanti, aku akan sampai pada titik di mana aku harus bangun dari segala mimpi..
Pada akhirnya nanti, aku harus menyadari bahwa ada hal-hal yang telah disediakan namun bukan untuk aku miliki..
Pada akhirnya nanti, aku yang harus memilih untuk memperjuangkanmu hingga letih, atau mempersiapkan diri untuk kemudian pergi..
Pada akhirnya nanti, aku akan menemui saat-saat di mana sudah tidak memungkinkan lagi untuk memperjuangkan. .
Bukankah tak ada artinya menunggu padahal kamu bukanlah untuk kutunggu?,
Bukankah tidak mungkin aku memiliki sesuatu yang tidak diperuntukkan bagiku?,
Ketika aku memutuskan untuk angkat kaki, itu artinya aku tidak ingin mempertahankan kamu lagi..
Ketika aku menganggap segalanya usai, itu artinya kamu bukan lagi sesuatu yang ingin aku gapai..
Mungkin kita bukanlah untuk saling mencari dan melengkapi..
Siapa tahu, kebahagiaanmu sudah Tuhan rancang di tangan orang lain..
Kebahagiaanku juga pasti sudah disediakan sebaik mungkin..
Aku melepas kamu sebagai hati yang ingin aku pilih, dan kuharap bisa membuatnya pulih..
Namun kini, aku membiarkan kamu untuk berlabuh ke manapun yang kamu mau..
Karena di titik ini, aku sudah dengan pasti mampu melepaskan dan merelakan..
Mari pergi dari titik ini, dan cari bahagia kita sendiri..
Sela hujan
Sela hujan
Selasa ketiga
Langit September berkaca-kaca,
Biru tergantikan uap air laut yang terbawa angin.
Lalu gemuruh gantikan teduh.
Kuputuskan berdiri di sini,
Di sisi terkecil dari ribuan cerita butiran air.
Memandangi tiap tetesnya, menyapa seirama, ciptakan nada yang sama.
Sri; kuingat September tempo itu, saat senja tak kunjung tiba
Saat asa tak jua memberiku cerita tentang rasa
Lalu kau hadir di sela hujan
Rebahkanku dalam hangat pelukkan kisah-kisahmu
Tawarkan binar terindahmu tenangkan resah asaku
Sri; selasa ketiga September berkaca-kaca
Kutitipkan untukmu ribuan kata tanpa jeda
Pada tetesan nada-nada yang menyapa seirama
Kutitipkan pada resah di sela basah
Rangkaian kisah-kisah penantian panjangku
Batasan ujudku memuja semu bayangmu
15112013
Selasa ketiga
Langit September berkaca-kaca,
Biru tergantikan uap air laut yang terbawa angin.
Lalu gemuruh gantikan teduh.
Kuputuskan berdiri di sini,
Di sisi terkecil dari ribuan cerita butiran air.
Memandangi tiap tetesnya, menyapa seirama, ciptakan nada yang sama.
Sri; kuingat September tempo itu, saat senja tak kunjung tiba
Saat asa tak jua memberiku cerita tentang rasa
Lalu kau hadir di sela hujan
Rebahkanku dalam hangat pelukkan kisah-kisahmu
Tawarkan binar terindahmu tenangkan resah asaku
Sri; selasa ketiga September berkaca-kaca
Kutitipkan untukmu ribuan kata tanpa jeda
Pada tetesan nada-nada yang menyapa seirama
Kutitipkan pada resah di sela basah
Rangkaian kisah-kisah penantian panjangku
Batasan ujudku memuja semu bayangmu
15112013
Langganan:
Postingan (Atom)