Jumat, 17 Mei 2013

Pendekatan Komunikatif : Pembelajaran Apresiasi Prosa (Cerita)




 PENDEKATAN KOMUNIKATIF

1. Pendekatan Komunikatif dalam Pembelajaran Apresiasi Prosa (Cerita)
Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pembelajaran bahasa, maka pelaksanaannya berintegrasi dengan pembelajaran bahasa. Tujuan umum pengajaran sastra agar siswa mampu menikmati, memahami, dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
Sastra sendiri merupakan karya seni yang menggunakan bahasa. Oleh karena itu, pembelajaran sastra dapat dengan mudah diintegrasikan dengan pembelajaran bahasa. Di samping itu, diabadikan kepada kepentingan pengembangan kemampuan berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan, baik pemahaman (reseptif) maupun penggunaan (produktif), sesuai karakteristik pembelajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif.
Dalam proses pembelajaran prosa ada berbagai kegiatan yang dapat dilaksanakan. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain ialah menyimak pembaca prosa, tentang prosa, membaca prosa, dan mengarang prosa.
Membaca prosa termasuk kegiatan membaca pemahaman. Dalam kegiatan pembelajaran prosa, siswa diarahkan untuk memahami prosa yang dibacanya. Hal apa saja yang harus dipahami siswa? Ada tiga hal yang penting untuk diperhatikan, iaitu: tokoh, alur, dan latar cerita.

a. Pemahaman Tokoh Cerita
Tokoh termasuk unsur cerita yang sangat penting. Tidak ada cerita tanpa tokoh. Tokoh-tokoh dalam cerita bersifat unik, tokoh yang satu berbeda dengan tokoh yang lainnya. Perbedaan tokoh itu ditandai dengan perbedaan nama, perbedaan fisik, dan perbedaan watak masing-masing tokoh. Dalam pembelajarn prosa para siswa dibimbing untuk dapat mengidentifikasi perbedaan nama, kondisi fisik, dan watak setiap tokoh yang terdapat dalam cerita yang dibacanya.
Berkenaan dengan tokoh dalam cerita iaitu tokoh pratagonis dan tokoh antagonis. Tokoh pratagonis adalah tokoh yang mendapat simpati pembaca, karena memiliki watak tertentu, maka para pembaca berpihak kepadanya.dan sering menjadi idola pembacanya. Tokoh antagonis dibenci pembaca karena hadir sebagai lawan dari tokoh pratagonis.
Daya tarik sebuah cerita antara lain disebabkan oleh adanya pertentangan antara tokoh pratagonis dengan tokoh antagonis. Baik tokoh pratagonis maupun tokoh antagonis biasanya menjadi fokus cerita biasa disebut tokoh utama. Tokoh utama baik yang berkarakter menyenangkan maupun yang berkarakter tidak menyenangkan (jahat), biasanya didukung oleh tokoh-tokoh yang lain yang biasa disbut tokoh pendukung.
Dalam pembelajaran membaca prosa (cerita), siswa dibimbing untuk menemukan tokoh utama dan tokoh pendukungnya. Di samping itu, mereka dibimbing pula untuk menemukan tokoh pratagonis dan antagonis.
b. Pemahaman Alur Cerita
Alur atau plot ialah rangkaian kejadian dalam cerita. Rangkaian kejadian itu dibangun berdasarkan hukum sebab akibat. Sebuah peristiwa yang terjadi dalam sebuah cerita harus berdasarkan sebab yang masuk akal (logis). Perilaku seorang tokoh dalam sebuah cerita sangat berkaitan dengan karakter para tokohnya.
c. Pemahaman Latar Cerita
Sebuah cerita terjadi di sebuah tempat dan pada waktu tertentu. Tempat dan waktu terjadinya sebuah peristiwa mempunyai iklim, kondisi, budaya, adat istiadat dan suasana tertentu. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi karakter setiap tokoh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa latar sebuah cerita dapat berpengaruh terhadap karakter setiap tokoh yang ada dalam cerita yang bersangkutan.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat bahwa tokoh cerita, alur, dan latar merupakan unsur-unsur cerita yang saling berkaitan antara yang satu dengan yang lain. Guru dalam hal ini membimbing siswa menemukan ketiga unsur yang terkandung dalam cerita yang dibacanya.

2. Media Pembelajaran Prosa (Cerita)
Media pembelajaran merupaka salah satu faktor yang turut menentukan keberhasilan pembelajaran. Penggunaan media dalam pembelajaran sedikitnya ada dua keuntungan iaitu:
a. Dapat membuat pendidikan (pembelajaran) lebih produktif, dan
b. Dapat membuat pendidikan (pembelajaran) lebih individual (Jobrohim, 1994).
Penggunaan media dapat membuat pembelajar lebih produktif karena media menyuguhkan pengalaman belajar yang lebih kaya, tidak hanya melibatkan satu alat indra saja. Dengan adanya media, para siswa tidak hanya dapat belajar melalui menyimak, tetapi juga melalui kegiatan melihat dan mengamati. Hal ini dapat meningkatkan kekuatan memori dan perhatian sehingga pembelajaran akan lebih produktif. Di samping itu, penggunaan media pun dapat mewadahi potensi individual para siswa.
Para siswa lebih kuat daya ingat dan daya serapnya melalui kegiatan melihat, dan demikian pula siswa yang lebih kuat daya dengarnya. Dengan demikian, penggunaan media, di samping dapat membuat pembelajaran lebih produktif, juga membuat pembelajar lebih individual.
Pembelajaran sastra sebaiknya menggunakan media yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan. Untuk pelatihan deklamasi mungkin diperlukan model. Model deklamasi yang baik dapat diharapkan melalui rekaman vidio dan mungkin pula menghadirkan deklamator yang baik ke ruang belajar. Cara yang lebih praktis tentu saja memilih siswa yang mahir berdeklamasi untuk tampil di muka kelas. Dan saat yang biasanya dinantikan oleh para siswa adalah penampilan guru sebagai deklamator yang selalu mengesankan.
5. Evaluasi
Evaluasi atau penilaian dimaksudkan untuk mengetahui apakah program yang bersangkutan telah sesuai dengan perencanaan atau telah mencapai target atau belum. Penilaian dalam pembelajaran sastra ditujukan oleh dua hal yakni, hasil belajar siswa dan proses pembelajaran itu sendiri. Hasil penilaian tersebut bermanfaat bagi siswa untuk mengukur kemajuan belajarnya dan bermanfaat pula bagi guru untuk menemukan kekurangan dan kelebihan yang selanjutnya dijadikan masukan bagi perbaikan bagi kegiatan pembelajaran berikutnya, (Jobrohim, 1994).
Alat penilaian sebenarnya dapat membantu tercapainya tujuan pembelajaran sastra. Hal ini dapat terjadi jika penilaian yang dilakukan lebih ditekankan pada kemampuan apresiasi siswa (secara langsung). Namun dalam kenyataannya di sekolah penilaian hasil belajr sastra lebih menekankan ranah kognitif, ranah psikomotor dan afektif kurang mendapat perhatian. (Jobrohim, 1994).
Berkenaan dengan tes sastra, Moody mengetengahkan adanya empat tingkatan tes sastra, iaitu:
a. Tingkat Informasi
Merupakan tes yang berkenaan dengan data dasar suatu karya sastra dan data yang menunjang dalam proses penafsiran karya sastra yang bersangkutan, misalnya biografi pengarang.
b. Tingkat Konsep
Tes ini berkaitan dengan persepsi tentang bagaimana unsur-unsur karya sastra diorganisasikan. Tes ini menuntut kemampuan kognitif siswa yang lebih tinggi tidak hanya tingkat pemahaman, tetapi juga tingkat analisis dan sintesis.
c. Tingkat Perspektif
Tes ini berkaitan dengan pandangan siswa mengenai karya sastra yang dibacanya. Tes ini pun menuntut kemampuan kognitif siswa pada tingkat tinggi. Kemampuan kognitif yang dituntut adalah tingkat aplikasi, evaluasi, analisis, dan sintesis.
d. Tingkat Apresiasi
Kemampuan kognitif yang dituntut oleh tes ini adalah aplikasi, analisis, sintesis, dan yang terutama adalah evalusi (Nurgiantoro, 1988).
Di samping tingkatan tes tersebut, perlu pula dipahami bahwa tes sastra harus memenuhi persyaratan tes yang baik seperti halnya tes-tes yang lain, yakni kesahihan (validitas). Keterpercayaan (reabilitas), dan kepraktisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar