Hermeneutik Sebagai Kritik Ideologi
Studi
Pengantar Hermeneutika Habermas
Dari
Hermeneutik Filosofis ke Hermeneutik Kritis
Hermeneutik selalu dihubungkan dengan dua aspek yang saling
berhubungan, yaitu mediasi dengan tradisi dan pemahaman subjektif terhadap
makna tertentu. Perbedaan antara hermeneutika filosofis dan teori
hermeneutik, meliputi pertanyaan, pertama bagaimana pemahaman itu mungkin.
kedua bagaimana pengembangan pemahaman tadi membentuk sebuah pengetahuan yang
objektif. Akan tetapi, ketika dengan kedua pendekatan tadi lebih
menekankan permasalahan pada peran interpreter, mereka melupakan satu
dimensi lain. Yaitu unsur content atau teks itu sendiri sebagai objek
interpretasi. Setiap refleksi atas kebenaran teks atau makna yang mentradisi,
justru telah keluar dari epistemologi dan metodologi dari proses pemahaman.
Karena menganggap tradisi sebagai superior dan otoritas tunggal dalam memahami
teks.
Kecurigaan terhadap klaim kebenaran yang berbasis tradisi
adalah dasar bagi timbulnya mazhab hermeneutik baru, yaitu hermeneutika kritis.
Tradisi dan pemahaman bukanlah sesuatu yang netral, tapi didalamnya ada
kesadaran palsu, propaganda, manipulasi informasi, pembatasan pengetahuan,
sensor dan lainnya. Hermeneutika kritis ini menjadi semacam perangkat bagi
kritik ideologi. Tujuannya untuk menyingkapkan sebab terjadinya distorsi dalam
pemahaman dan komunikasi yang kelihatan normal dalam interaksi.
Diantara tokoh-tokoh hermeneutika kritis adalah Karl Otto
Apel, Lorenzer, Sandkuhler dan Paul Ricoeur dan Jurgen Habermas. Dalam
makalah ini akan dibahas filosof yang terakhir, yaitu Jurgen Habermas, seorang
filosof Jerman terkemuka dan fighter dalam filsafat.
Habermas
Vs Gadamer
Dalam bukunya On the Logic of the Social Science,
Habermas berusaha mencari basis teoritis alternatif bagi social
science yang selalu didominasi oleh aliran positivistik. Filosof Jerman ini
menawarkan pendekatan fenomenologis, pendekatan filsafat bahasa dan pendekatan
hermeneutik. Disini habermas memahami hermeneutik sebagai salah satu metodologi
dalam social science. Dalam pembahasan mengenai pendekatan hermeneutik,
sebelum mengkritisi Gadamer dan menjelaskan posisinya dalam studi hemeneutik,
filosof mazhab frankfrut ini terlebih dahulu menerangkan posisi yang
disetujuinya dari Gadamer.
Hermeneutika tidak bisa lepas dari bahasa, karena bahasa
disamping sebagai unsur konstitutif pengetahuan juga sebagai instumen
komunikasi. Bagi Wittgenstein, hermenetik bukan hanya sebuah “proses
interpretasi” tapi adalah sebagai sebuah “proses kehidupan” itu sendiri.
Permainan bahasa (language games) adalah sebentuk
kehidupan (form of life) itu sendiri. Selangkah lebih jauh dari
Wittgenstein, Gadamer memahami aturan bahasa bukan hanya
terinstitusionalisasikan dalam bentuk kehidupan, tapi dibatasi juga oleh
horizon waktu. Dalam ini, Gadamer sangat dipengaruhi
oleh pemikiran Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Dengan demikian, bagi
Gadamer, bahasa membutuhkan tiga dimensi, pertama aturan grammar sebagai
sebuah aplikasi aturan yang pada gilirannya akan membawa perkembangan histories
kedalam system aturan, kedua penyatuan bahasa (the unity of languge),
dengan menghilangkan semua pluraritas dalam language games, direstorasi
secara dialektis dengan tradisi. Ketiga bahasa itu hanya eksis dalam
sesuatu yang tradisional, yaitu sepanjang manusia bersosialisasi dengan manusia
yang lain menggunakan bahasa mereka.
Menurut Habermas, Gadamer menggunakan the image of
horizon sebagai karakter fundamental hemeneutik untuk memahami setiap
bahasa yang konkrit. Padahal hal tersebut tidak mempunyai batas jelas, yang
menjadi prinsip menyatukan segala bahasa tersebut, yang secara linguistik
berbeda dan tak masuk akal. Gadamer juga gagal memahami
kekuatan refleksi yang terbuka dalam Verstehen. Refleksi tidak lagi
dibelenggu oleh ilusi yang absolute (agama/tradisi) ataupun otonomi diluar
manusia. Akan tetapi, refleksipun tidak sepenuhnya lepas dari dasar
kontingensinya, yang didalamnya manusia menemukan dirinya. Namun ketika momen
refleksi memahami tradisi apakah ia akan memprosesnya atau tetap didalamnya,
dogmatisme kehidupan praksis tetap terguncang.
Bagi Habermas, pengagungan Gadamer terhadap tradisi sebagai
basis legitimasi, tidak jauh berbeda dengan konservatisme Edmund Burke. Filosof Inggris ini, mencurigai dan mencela pencerahan,
khususnya revolusi Prancis. Sebaliknya, Burke sangat mengangungkan
tradisi sebagai basis legitimasi, khususnya tradisi Inggris. Anehnya, menurut
Habermas, Gadamer melawan dirinya sendiri, dimana tradisi Jerman adalah
idealisme, yang menjadi spirit semenjak abad 18, dimana arus utamanya adalah
perlawanan terhadap dogmatisme.
Hermenetika
sebagai kritik Ideologi
Hermeneutik, bagi Habermas, adalah kemampuan untuk menguasai
“natural language”, yaitu seni memahami makna yang dapat dikomunikasikan
secara lingguistik, serta membuatnya dapat dimengerti ketika terjadi distorsi
komunikasi. Refleksi hermeneutik mengandung dua makna, pertama memahami sesuatu
dan memahami diri. Kedua, meyakinkan dan mempengaruhi orang lain.
Pengalaman hermeneutik mensyaratkan hubungan dua momen,
yaitu intersubjektivitas komunikasi sehari-hari [1] yang bersifat tak terbatas
sekaligus terbatas. Tak terbatas karena komunikasi selalu dapat diperluas,
terbatas karena makna tak diterima sepenuhnya. Karena hal itulah, sifat
tersebut membuat kesamaan bahasa komunitas dan juga perbedaan kelas, peradaban
dan zaman. Kedua, pengalaman hermeneutik membawa pada kesadaran akan
posisi subjek pembicara berhadapan dengan bahasanya. Bagi Habermas, sistem “natural
language” itu tidak tertutup, seperti yang dipahami oleh kaum strukturalis, tapi bersifat terbuka. Konsekuensinya, setiap aturan
bahasa memungkinkan untuk dikomentari dan dirubah, serta metakomunikasi membuat
bahasa dapat dijadikan sebagai sebuah objek. Oleh karena itu, setiap natural
language memiliki metalanguage. Dengan demikian, Metalanguage
menjadi basis bagi momen refleksi. Sebagaimana penggunaan metapor dalam bahasa.
Natural language,
disamping mempunyai sifat terbuka, juga besifat informal. Oleh karena itu,
subjek pembicara tidak bisa dikonfrontasikan dengan bahasanya, dalam artian
sebagai sebuah sistem yang tertutup. Karena manusia hidup dalam sistem bahasa,
maka pemahaman hermeneutik tidak mungkin lepas dari berbagai prejudice
atau prapemahaman. Prejudice ini bisa dikategorikan dan membuktikan
dirinya, dalam hubungan subjek wacana dengan setiap usaha analisis, dengan
kesadaran hermeneutik. Akan tetapi, adanya prapemahaman tidak meruntuhkan
objektivitas bahasa berhadapan dengan subjek pembicara, justru meningkatkan
pengetahuan dan membimbingnya kedalam tahap hermeneutik selanjutnya. Inilah apa
yang disebut Gadamer “ awareness of effective-history is unavoidably more
being than consciousness”.
Sebagai seni untuk meyakinkan dan mempengaruhi, refleksi
menyediakan hermeneutika filosofis yang mempunyai karakteristik bukan hanya
pertukaran informasi melalui medium bahasa sehari-hari, tapi juga memungkinkan
tindakan instrumental dibentuk dan dirubah. Keputusan rasional hanya dapat
dicapai dengan dasar konsensus yang menghasilkan keputusan yang
meyakinkan. Semuanya secara kognitif maupun ekpresif diderivasi dari bahasa
sehari-hari (everyday language). Habermas mengembangkan konsep bahasa,
sebagaimana yang dipahami oleh Wittgenstein language games pada waktu
yang sama sebagai bentuk kehidupan, sebagai kumpulan dari simbol-simbol. Akan
tetapi menginterpretasi simbol-simbol linguistik itu dengan tindakan dan
ekspresi.
Untuk kompetensi komunikasi, refleksifitas dan objektivitas
adalah karakter fundamental bahasa, dimana kreativitas dan integrasi bahasa
dalam kehidupan praksis. Oleh karena itu, konsep langue telah
ditransformasikan kedalam parole. Habermas pun
membedakan antara refleksi-diri dengan rekonstruksi rasional. Melalui refleksi
diri, subjek menjadi sadar akan prejudice yang sebelumnya tidak
disadari. Dengan demikian keadaran hermeneutis adalah hasil dari refleksi diri.
Disini habermas mulai menggunakan psikoanalisa sebagai pisau analisis prejudice
dalam rasio manusia. Sebaliknya, rekonstruksi rasional aturan sistem
bahasa dilakukan dengan tujuan menjelaskan kompetensi linguistik.
Berkaitan dengan hermeneutika filosofis, Menurut filosof
Jerman ini, pada akhirnya berusaha untuk menterjemahkan bahasa saintifik
kedalam bahasa dunia-kehidupan sosial. Dengan demikian, hermeneutika filosofis
berusaha memenuhi klaimnya sebagai sesuatu yang universal. Berkaitan dengan
kesadaran hermeneutis, hal tersebut dapat membuka jalan menuju
pengintegrasian kembali sains dalam dunia kehidupan manusia. Namun klaim
universalitas hermeneutic menemui batasnya dalam sistem-sistem linguistik sains
dan teori-teori pilihan rasional. Pertanyaan kritis Habermas yang berkaitan
dengan klaim universalitas adalah apakah ada pemahaman makna struktur simbolik
dari bahasa sehari-hari yang tidak diikat oleh prapemahaman hermeneutis dalam
konteks proses pemahaman, sebuah pemahaman dalam natural language
sebagai metalanguage ?. Bagi Habermas, jawabannya adalah dengan
psikoanalisa atau kritik ideologi dimana fenomena kolektif sebagai pusat
kritiknya. Karena objektivasi dari bahasa sehari-hari tidak bisa diterima
sebagai ekspresi subjek, maka bisa dikatakan sebagai sebuah komunikasi yang
terdistorsi secara sistematis. Komunikasi yang terdistorsi
biasanya kelihatan normal dalam interaksi, padahal ia adalah semacam patologi
sosial, kesadaran palsu, atau psedo-communication yang digerakan oleh
sistem kesalahpahaman yang membawa kepada konsensus palsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar