Rabu, 15 Mei 2013

Hermeneutik Sebagai Kritik Ideologi

Hermeneutik Sebagai Kritik Ideologi

Studi Pengantar Hermeneutika Habermas
Dari Hermeneutik Filosofis ke Hermeneutik Kritis
Hermeneutik selalu dihubungkan dengan dua aspek yang saling berhubungan, yaitu mediasi dengan tradisi dan pemahaman subjektif terhadap makna tertentu.  Perbedaan antara hermeneutika filosofis dan teori hermeneutik, meliputi pertanyaan, pertama bagaimana pemahaman itu mungkin. kedua bagaimana pengembangan pemahaman tadi membentuk sebuah pengetahuan yang objektif. Akan tetapi, ketika  dengan kedua pendekatan tadi lebih menekankan permasalahan pada peran interpreter, mereka melupakan satu dimensi lain. Yaitu unsur content atau teks itu sendiri sebagai objek interpretasi. Setiap refleksi atas kebenaran teks atau makna yang mentradisi, justru telah keluar dari epistemologi dan metodologi dari proses pemahaman. Karena menganggap tradisi sebagai superior dan otoritas tunggal dalam memahami teks.
Kecurigaan terhadap klaim kebenaran yang berbasis tradisi adalah dasar bagi timbulnya mazhab hermeneutik baru, yaitu hermeneutika kritis. Tradisi dan pemahaman bukanlah sesuatu yang netral, tapi didalamnya ada kesadaran palsu, propaganda, manipulasi informasi, pembatasan pengetahuan, sensor dan lainnya. Hermeneutika kritis ini menjadi semacam perangkat bagi kritik ideologi. Tujuannya untuk menyingkapkan sebab terjadinya distorsi dalam pemahaman dan komunikasi yang kelihatan normal dalam interaksi.
Diantara tokoh-tokoh hermeneutika kritis adalah Karl Otto Apel, Lorenzer, Sandkuhler dan Paul Ricoeur dan Jurgen Habermas.  Dalam makalah ini akan dibahas filosof yang terakhir, yaitu Jurgen Habermas, seorang filosof Jerman terkemuka dan fighter dalam filsafat.

Habermas Vs Gadamer
Dalam bukunya On the Logic of the Social Science, Habermas berusaha  mencari basis teoritis alternatif bagi social science yang selalu didominasi oleh aliran positivistik. Filosof Jerman ini menawarkan pendekatan fenomenologis, pendekatan filsafat bahasa dan pendekatan hermeneutik. Disini habermas memahami hermeneutik sebagai salah satu metodologi dalam social science. Dalam pembahasan mengenai pendekatan hermeneutik, sebelum mengkritisi Gadamer dan menjelaskan posisinya dalam studi hemeneutik, filosof mazhab frankfrut ini terlebih dahulu menerangkan posisi yang disetujuinya dari Gadamer.
Hermeneutika tidak bisa lepas dari bahasa, karena bahasa disamping sebagai unsur konstitutif pengetahuan juga sebagai instumen komunikasi. Bagi Wittgenstein, hermenetik bukan hanya sebuah “proses interpretasi” tapi adalah sebagai sebuah “proses kehidupan” itu sendiri. Permainan bahasa (language games) adalah sebentuk kehidupan (form of life) itu sendiri. Selangkah lebih jauh dari Wittgenstein, Gadamer memahami aturan bahasa  bukan hanya terinstitusionalisasikan dalam bentuk kehidupan, tapi dibatasi juga oleh horizon waktu. Dalam ini, Gadamer sangat dipengaruhi oleh pemikiran Edmund Husserl dan Martin Heidegger. Dengan demikian, bagi Gadamer, bahasa membutuhkan tiga dimensi, pertama aturan grammar sebagai sebuah aplikasi aturan yang pada gilirannya akan membawa perkembangan histories  kedalam system aturan, kedua penyatuan bahasa (the unity of languge), dengan menghilangkan semua pluraritas dalam language games, direstorasi secara dialektis dengan tradisi. Ketiga bahasa itu hanya eksis  dalam sesuatu yang tradisional, yaitu sepanjang manusia bersosialisasi dengan manusia yang lain menggunakan bahasa mereka.
Menurut Habermas, Gadamer menggunakan the image of horizon sebagai karakter fundamental hemeneutik untuk memahami setiap bahasa yang konkrit. Padahal hal tersebut tidak mempunyai batas jelas, yang menjadi prinsip menyatukan segala bahasa tersebut, yang secara linguistik berbeda dan tak masuk akal. Gadamer juga gagal memahami kekuatan refleksi yang terbuka dalam Verstehen. Refleksi tidak lagi dibelenggu oleh ilusi yang absolute (agama/tradisi) ataupun otonomi diluar manusia. Akan tetapi, refleksipun tidak sepenuhnya lepas dari dasar kontingensinya, yang didalamnya manusia menemukan dirinya. Namun ketika momen refleksi memahami tradisi apakah ia akan memprosesnya atau tetap didalamnya, dogmatisme kehidupan praksis tetap terguncang.
Bagi Habermas, pengagungan Gadamer terhadap tradisi sebagai basis legitimasi, tidak jauh berbeda dengan konservatisme Edmund Burke. Filosof Inggris ini, mencurigai dan mencela pencerahan, khususnya revolusi Prancis. Sebaliknya,  Burke sangat mengangungkan tradisi sebagai basis legitimasi, khususnya tradisi Inggris. Anehnya, menurut Habermas, Gadamer melawan dirinya sendiri, dimana tradisi Jerman adalah idealisme, yang menjadi spirit semenjak abad 18, dimana arus utamanya adalah perlawanan terhadap dogmatisme.

Hermenetika sebagai kritik Ideologi
Hermeneutik, bagi Habermas, adalah kemampuan untuk menguasai “natural language”, yaitu seni memahami makna yang dapat dikomunikasikan secara lingguistik, serta membuatnya dapat dimengerti ketika terjadi distorsi komunikasi. Refleksi hermeneutik mengandung dua makna, pertama memahami sesuatu dan memahami diri. Kedua, meyakinkan dan mempengaruhi orang lain.
Pengalaman hermeneutik mensyaratkan hubungan dua momen, yaitu intersubjektivitas komunikasi sehari-hari [1] yang bersifat tak terbatas sekaligus terbatas. Tak terbatas karena komunikasi selalu dapat diperluas, terbatas karena makna tak diterima sepenuhnya.  Karena hal itulah, sifat tersebut membuat kesamaan bahasa komunitas dan juga perbedaan kelas, peradaban dan zaman.  Kedua, pengalaman hermeneutik membawa pada kesadaran akan posisi subjek pembicara berhadapan dengan bahasanya. Bagi Habermas, sistem “natural language” itu tidak tertutup, seperti yang dipahami oleh kaum strukturalis, tapi bersifat terbuka. Konsekuensinya, setiap aturan bahasa memungkinkan untuk dikomentari dan dirubah, serta metakomunikasi membuat bahasa dapat dijadikan sebagai sebuah objek. Oleh karena itu, setiap natural language memiliki metalanguage. Dengan demikian, Metalanguage menjadi basis bagi momen refleksi. Sebagaimana penggunaan metapor dalam bahasa.
Natural language, disamping mempunyai sifat terbuka, juga besifat informal. Oleh karena itu, subjek pembicara tidak bisa dikonfrontasikan dengan bahasanya, dalam artian sebagai sebuah sistem yang tertutup. Karena manusia hidup dalam sistem bahasa, maka pemahaman hermeneutik tidak mungkin lepas dari berbagai prejudice atau prapemahaman. Prejudice ini bisa dikategorikan dan membuktikan dirinya, dalam hubungan subjek wacana dengan setiap usaha analisis, dengan kesadaran hermeneutik. Akan tetapi, adanya prapemahaman tidak meruntuhkan objektivitas bahasa berhadapan dengan subjek pembicara, justru meningkatkan pengetahuan dan membimbingnya kedalam tahap hermeneutik selanjutnya. Inilah apa yang disebut Gadamer “ awareness of effective-history is unavoidably more being than consciousness”.
Sebagai seni untuk meyakinkan dan mempengaruhi, refleksi menyediakan hermeneutika filosofis yang mempunyai karakteristik bukan hanya pertukaran informasi melalui medium bahasa sehari-hari, tapi juga memungkinkan tindakan instrumental dibentuk dan dirubah. Keputusan rasional hanya dapat dicapai dengan  dasar konsensus yang menghasilkan keputusan yang meyakinkan. Semuanya secara kognitif maupun ekpresif diderivasi dari bahasa sehari-hari (everyday language). Habermas mengembangkan konsep bahasa, sebagaimana yang dipahami oleh Wittgenstein language games pada waktu yang sama sebagai bentuk kehidupan, sebagai kumpulan dari simbol-simbol. Akan tetapi  menginterpretasi simbol-simbol linguistik itu dengan tindakan dan ekspresi.
Untuk kompetensi komunikasi, refleksifitas dan objektivitas adalah karakter fundamental bahasa, dimana kreativitas dan integrasi bahasa dalam kehidupan praksis. Oleh karena itu, konsep langue telah ditransformasikan kedalam parole. Habermas pun membedakan antara refleksi-diri dengan rekonstruksi rasional. Melalui refleksi diri, subjek menjadi sadar akan prejudice yang sebelumnya tidak disadari. Dengan demikian keadaran hermeneutis adalah hasil dari refleksi diri. Disini habermas mulai menggunakan psikoanalisa sebagai pisau analisis prejudice dalam rasio manusia. Sebaliknya, rekonstruksi rasional  aturan sistem bahasa dilakukan dengan tujuan menjelaskan kompetensi linguistik.
Berkaitan dengan hermeneutika filosofis, Menurut filosof Jerman ini, pada akhirnya berusaha untuk menterjemahkan bahasa saintifik kedalam bahasa dunia-kehidupan sosial. Dengan demikian, hermeneutika filosofis berusaha memenuhi klaimnya sebagai sesuatu yang universal. Berkaitan dengan kesadaran hermeneutis, hal tersebut  dapat membuka jalan menuju pengintegrasian kembali sains dalam dunia kehidupan manusia. Namun klaim universalitas hermeneutic menemui batasnya dalam sistem-sistem linguistik sains dan teori-teori pilihan rasional. Pertanyaan kritis Habermas yang berkaitan dengan klaim universalitas adalah apakah ada pemahaman makna struktur simbolik dari bahasa sehari-hari yang tidak diikat oleh prapemahaman hermeneutis dalam konteks proses pemahaman, sebuah pemahaman dalam natural language sebagai metalanguage ?. Bagi Habermas, jawabannya adalah dengan psikoanalisa atau kritik ideologi dimana fenomena kolektif sebagai pusat kritiknya. Karena objektivasi dari bahasa sehari-hari tidak bisa diterima sebagai ekspresi subjek, maka bisa dikatakan sebagai sebuah komunikasi yang terdistorsi secara sistematis. Komunikasi yang terdistorsi biasanya kelihatan normal dalam interaksi, padahal ia adalah semacam patologi sosial, kesadaran palsu, atau psedo-communication yang digerakan oleh sistem kesalahpahaman yang membawa kepada konsensus palsu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar