Sabtu, 04 Mei 2013

cangkir pertama : candu tenangmu

CANDU TENANGMU

kekasih,
Bagda isya hari ini, seperti biasa aku dan beberapa rekan janjian untuk mencari kopi. Secangkir kopi. Jalan A.Yani 1 daerah Paris 1, deretan warung kopi tempat biasa aku dan beberapa rekan menghabiskan malam, menikmati cangkiran kopi, menghamburkan cerita tantang hari-hari masing-masing kami. Tantu saja kami tidak sendiri, banyak juga di antara kami, mereka yang turut serta menghabiskan malam.
Kekasih,
Hari ini, bagda isya malam ini, aku merindukanmu. Di sini, pertama kali aku dan kamu berbagi cerita, masih jelas di kepalaku ceritamu tantang keadaan kuliahmu yang kau balut dengan cerita tantang cintamu. Masih jelas sekali, kamu yang tempo itu sedang dalam masalah yang terlihat cukup berat. Untuk pertama kalinya juga kau memesan kopi hitam, sama seperti yang aku pesan. Tentu heran. Kamu wanita pertama yang membuatku terpesona, bukan hanya karena gingsul dan lesung pipitmu, namun karena kamu wanita pertama yang doyan minum kopi. Sederhana saja katamu, saat aku bertanya tentang kopi yang kau minum. Kau hanya ingin tenang, seperti tenangnya aku saat menyeruput kopi yang masih panas. Ya,, aku hanya tersenyum tanpa harus kulanjutkan pertanyaanku, aku hanya yakin saat itu kamu butuh ketenangan. Hanya saja kamu mengambil contoh yang mungkin salah.
Malam itu, isya telah lewat jauh. Aku dan kamu masih asik menikamati sugesti ketenangan yang kita ciptakan dari secangkir kopi. aku teringat tentang buku “filosofi kopi” milik Dewi Lestari, beberpa sepertinya benar, tentang kopi, tentang ketenangan. Setelah beberapa waktu,  senyum manis yang diramu gingsul dan lesung pipit itu merekah indah, aku yang tadinya ingin membuka pembicaraan tentang rembulan purnama, kembali diam, kamu berhasil mebiusku. Kau tersenyum seakan kopi itu berhasil memberi sugesti. Aku, yaa..mungkin aku butuh beberapa cangkir lagi, karena senyummu menelajangi ketenanganku.
Beberpa hari setelah malam itu, kekasih. Sore itu, Pontianak lembab oleh gerimis sedari siang. Kau memintaku menemuimu, menemanimu menikamti seduan kopi. di sini, di tempat ini, tempat pertama kali kita bertemu. aku menerka hatimu tak berbeda dengan lembab udara sore ini, pasti gerimis pula hatimu.
Kekasih, aku salah, sore itu justru senyum simpul paduan gingsul dan lesung pipit yang menyambut kedatanganku. Hatimu bak taman bunga yang warna warni, terlihat dari binar matamu. Dan aku, hanya diam. Kamu, hari ini berbeda, rewel dengan sejuta cerita yang sepertinya telah kau siapkan sebelum memintaku menemuimu. Sedangkan aku, seperti biasa, ceritaku tentang senja sore ini terbius lagi oleh rekahmu. Semuanya memaksaku untuk diam, hanya menjadi pendengar, karena tak ada pertanyaan yang dapat kurangkai. Atau memang sebaiknya tak perlu kupertayakan.
Kekasih,
Malam ini kau merindukanmu. aku merindukan kita yang memjadikan malam berbeda cerita. Merindukanmu yang mempu membius ceritaku tentang purnama juga tentang senja. Malam ini adalah malam terakhir sebelum akhirnya kau ceritakan padaku tentang rencananmu pindah kuliah karena keluargamu. Kembali ke Surakarta, tanah kelahiran Ayahmu.
Cerita terakhirmu malam ini, sama seperti senyum yang selalu membiusku. Hanya kini kau taburkan pula gerimis yang lembabkan ulu hatiku. Aku hanya diam. Tak berani aku mempertanyakan. Meskipun binar matamu memintaku memberi alasan agar kau tetap tinggal.
Kekasih,
Malam ini, purnama tak lagi berarti keindhan. Senja tak lagi berarti keteduhan. Bagiku. senyum simpul yang kau sedu bersam secangkir kopi membuatku jatuh cinta. Cinta yang aneh. Cinta yang hadir dari diam. Saat kau mulai kecanduan cangkiran kopi manismu, saat itu pula aku kecanduan senyum ketenanganmu.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar