CANDU TENANGMU
kekasih,
Bagda isya hari ini, seperti biasa aku dan
beberapa rekan janjian untuk mencari kopi. Secangkir kopi. Jalan A.Yani 1
daerah Paris 1, deretan warung kopi tempat biasa aku dan beberapa rekan menghabiskan
malam, menikmati cangkiran kopi, menghamburkan cerita tantang hari-hari
masing-masing kami. Tantu saja kami tidak sendiri, banyak juga di antara kami,
mereka yang turut serta menghabiskan malam.
Kekasih,
Hari ini, bagda isya malam ini, aku
merindukanmu. Di sini, pertama kali aku dan kamu berbagi cerita, masih jelas di
kepalaku ceritamu tantang keadaan kuliahmu yang kau balut dengan cerita tantang
cintamu. Masih jelas sekali, kamu yang tempo itu sedang dalam masalah yang terlihat
cukup berat. Untuk pertama kalinya juga kau memesan kopi hitam, sama seperti
yang aku pesan. Tentu heran. Kamu wanita pertama yang membuatku terpesona,
bukan hanya karena gingsul dan lesung pipitmu, namun karena kamu wanita pertama
yang doyan minum kopi. Sederhana saja katamu, saat aku bertanya tentang kopi
yang kau minum. Kau hanya ingin tenang, seperti tenangnya aku saat menyeruput
kopi yang masih panas. Ya,, aku hanya tersenyum tanpa harus kulanjutkan
pertanyaanku, aku hanya yakin saat itu kamu butuh ketenangan. Hanya saja kamu
mengambil contoh yang mungkin salah.
Malam itu, isya telah lewat jauh. Aku dan kamu
masih asik menikamati sugesti ketenangan yang kita ciptakan dari secangkir
kopi. aku teringat tentang buku “filosofi kopi” milik Dewi Lestari, beberpa
sepertinya benar, tentang kopi, tentang ketenangan. Setelah beberapa waktu, senyum manis yang diramu gingsul dan lesung
pipit itu merekah indah, aku yang tadinya ingin membuka pembicaraan tentang
rembulan purnama, kembali diam, kamu berhasil mebiusku. Kau tersenyum seakan
kopi itu berhasil memberi sugesti. Aku, yaa..mungkin aku butuh beberapa cangkir
lagi, karena senyummu menelajangi ketenanganku.
Beberpa hari setelah malam itu, kekasih. Sore
itu, Pontianak lembab oleh gerimis sedari siang. Kau memintaku menemuimu,
menemanimu menikamti seduan kopi. di sini, di tempat ini, tempat pertama kali
kita bertemu. aku menerka hatimu tak berbeda dengan lembab udara sore ini,
pasti gerimis pula hatimu.
Kekasih, aku salah, sore itu justru senyum
simpul paduan gingsul dan lesung pipit yang menyambut kedatanganku. Hatimu bak
taman bunga yang warna warni, terlihat dari binar matamu. Dan aku, hanya diam.
Kamu, hari ini berbeda, rewel dengan sejuta cerita yang sepertinya telah kau
siapkan sebelum memintaku menemuimu. Sedangkan aku, seperti biasa, ceritaku
tentang senja sore ini terbius lagi oleh rekahmu. Semuanya memaksaku untuk
diam, hanya menjadi pendengar, karena tak ada pertanyaan yang dapat kurangkai.
Atau memang sebaiknya tak perlu kupertayakan.
Kekasih,
Malam ini kau merindukanmu. aku merindukan kita
yang memjadikan malam berbeda cerita. Merindukanmu yang mempu membius ceritaku
tentang purnama juga tentang senja. Malam ini adalah malam terakhir sebelum
akhirnya kau ceritakan padaku tentang rencananmu pindah kuliah karena
keluargamu. Kembali ke Surakarta, tanah kelahiran Ayahmu.
Cerita terakhirmu malam ini, sama seperti
senyum yang selalu membiusku. Hanya kini kau taburkan pula gerimis yang
lembabkan ulu hatiku. Aku hanya diam. Tak berani aku mempertanyakan. Meskipun binar
matamu memintaku memberi alasan agar kau tetap tinggal.
Kekasih,
Malam ini, purnama tak lagi berarti keindhan.
Senja tak lagi berarti keteduhan. Bagiku. senyum simpul yang kau sedu bersam
secangkir kopi membuatku jatuh cinta. Cinta yang aneh. Cinta yang hadir dari
diam. Saat kau mulai kecanduan cangkiran kopi manismu, saat itu pula aku
kecanduan senyum ketenanganmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar